Minggu, 05 Februari 2012

Izinkan aku menjadi sekuntum bunga

‘Ungkapan hati seorang akhwat....semoga Allah mengabulkan cita-citanya :
((Ya Rabb,,,, Izinkan aku menjadi sekuntum bunga, Yg dihiasi dgn kelopak akhlaq mulia, Harum wanginya dengan ilmu agama, Cantiknya karna iman dan taqwa, Namun keindahan zahirnya kusimpan rapi, Biar menjadi rahasia yg kekal abadi, Bukan perhatian mata lelaki ajnabi, Yang menjadi puncak fitnah hati,
Illahi Rabbi,,,,, Tumbuhkanlah duri yang memagari diri, Agar diriku terpelihara dari noda duniawi, Yang akan menghilangkan keharuman sejati, Yang akan memudarkan kecantikan diri.
Dibalik kekurangan yg tercipta, Bukanlah alasan untuk bermuram durja, Karna setiap yang tercipta ada hikmahnya
Izinkan ya Allah agarku menjadi permata, Tetap menyinar walau di lumpur hina, Tetap berharga walau dimana saja... Buat ummat dan juga keluarga, Izinkan aku menjadi seindah mawar berduri, Yang menjadi impian setiap muslimah, Yang indahnya bukan untuk lelaki, Tapi permata utk yang bernama suami)), Amin Allahumma Aamiin....

Jumat, 26 Desember 2008

Inilah Makna Cinta

Begitu dalamnya makna cinta ( Al Mahabah) sampai-sampai ada yang mengeluarkan pendapat tentang makna cinta,” Hati yang buta untuk melihat selain orang yang dicinta, tuli untuk mendengar selain yang dicinta”. Seperti yang dinyatakan dalam sebuah hadits:

“Kecintaanmu terhadap sesuatu bisa membuat buta dan tuli”

(HR. Ahmad).

Cinta datang tak terduga tanpa ada rencana ataupun cita-cita, datang secara tiba-tiba. Tidak ada kekuatan selain-NYA yang dapat menolaknya. Al Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah –rahimahullah- menjelaskan bahwa “cinta datang tanpa ada inisiatif’. Ibnu Hazm –rahimahullah- juga mengatakan “ada seorang pemuda bertanya kepada Umar bin Khaththab –radhiyallah anhu- “wahai Amirul Mu’minin sesungguhnya saya melihat seorang wanita, lalu saya jatuh cinta padanya. Umar –radhiyallah anhu- berkata “itu adalah sesuatu yang tidak bisa dibendung”.

Al Qadhy Abu Umar An Nuqany dalam Minhatuzh Zhahraf berkata, “Cinta itu menyusup secara kebetulan dan merupakan ketetapan yang tak bisa diganggu gugat. Seseorang tidak tercela karena jatuh cinta karena sesuatu yang diluar kesanggupannya dan itu sudah ditakdirkan atas dirinya”.

Kami bawa kalian kepada satu orang yang menyamai beribu ulama yaitu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- “apakah pendapatmu wahai pemimpin para fuqaha’ tentang orang yang dimabuk cinta?” Beliau menjawab, “Orang yang dimabuk cinta itu ada tiga taraf, permulaan, pertengahan dan puncaknya. Pada jenjang permulaan dia harus menyembunyikan cintanya tidak perlu memberitahukan kepada orang lain, tentu dia harus memperhatikan batas-batas yang dibolehkan. Pada jenjang pertengahan apabila cintanya bertambah membara, tidak ada salahnya dia menyatakan cintanya pada orang yang dicinta. Jika cintanya bertambah membara (puncaknya) dan dia telah keluar dari batas yang dibolehkan, berarti dia termasuk orang gila dan terbujuk rayuan syetan.

(Disarikan dari Kitab: Ar Raudhah Al Muhibin wa Nuzhah Al Musytaqin, Ibnu Qayyim Al Jauziyah)

Menurut Imam Ibnu Jauzi, cinta adalah kecondongan jiwa yang sangat kuat kepada satu bentuk yang sesuai dengan tabiatnya, maka jika pemikiran jiwa itu kuat mengarah kesana, ia akan selalu mengharapkannya. Oleh karena itu pula, biasanya penyakit baru akan selalu muncul bagi orang yang sedang jatuh cinta. (Dzammul Hawa karya Imam Ibnu Jauzi)

Imam Muhammad Ibnu Daud berkata, “Kami telah menuturkan beberapa pendapat penyair mengenai cinta bahwa cinta pada mulanya terjadi dari penglihatan dan pendengaran. Kemudian bila Allah menghendaki kita dibuat untuk dapat selalu mengingat-ingat apa yang mungkin diakibatkan oleh pendengaran dan penglihatan. Lantas kenapa bisa terjadi cinta dan bagaimana? Bagi orang awam keberadaan cinta tidak terlalu menjadi perhatian mereka, sedangkan bagi orang-orang yang ahli mereka selalu mempertanyakan sebab-musababnya.”

Seorang penyair berkata:

Aku membawa segunung cinta untukmu

Sedang aku sesungguhnya tidak mampu membawa jubah dan aku begitu lemah

Cinta bukanlah bagian dari kebaikan dan tenggang rasa

Akan tetapi cinta adalah sesuatu yang karenanya jiwa terbebani dengan beban yang berat.
(Az Zahrah karya Imam Muhammad bin Daud Azh-Zhahiri (296 H))

Jumat, 19 Desember 2008

Mengapa Menikah

Sebelum kita memulai pembicaraan khususnya tentang masalah tersebut maka wajib atas kita untuk mengetahui secara yakin bahwa hukum-hukum syariat semuanya adalah dalil dan semuanya sesuai pada tempatnya, tidak ada darinya sedikitpun perkara yang sia-sia dan kebodohan. Demikian itu dikarenakan hukum-hukum tersebut berasal dari sisi Dzat yang Maha Hakim dan Maha Mengetahui, adapun bagi hukum yang ada pada kalian apakah semuanya bagi makhluk? Sesungguhnya kaum Adam sangat terbatas keilmuannya, pemikirannya dan akalnya sehingga tidak mungkin dia akan mengetahui segala sesuatunya dan tidak diilhamkan untuk mengetahui segala sesuatu, Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman:

…. dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit�?. (QS. Al Isra : 85)

Jika demikian… maka hukum-hukum syariat yang telah Allah syariatkan bagi para hambaNya wajib atas kita untuk meridhainya -sama saja- apakah kita telah mengetahui hikmahnya ataupun belum kita ketahui. Karena sesungguhnya manakala kita tidak mengetahui hikmah-hikmahnya, maka bukan berarti bahwa hal itu tidak ada hikmahnya di alam nyata. Tidak lain hal ini hanyalah disebabkan karena dangkalnya akal-akal kita dan pemahaman kita untuk menjangkau hikmahnya.

Diantara hikmah dari sebuah pernikahan ialah :

1) Pemeliharaan terhadap masing-masing dari sepasang suami-istri dan penjagaan terhadap keduanya, Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

Wahai para pemuda barangsiapa diantara kalian yang telah memiliki kemampuan (ba-ah) maka hendaklah dia menikah karena sesungguhnya menikah lebih menjaga kemaluan dan barangsiapa yang belum memiliki kemampuan maka hendaknya dia berpuasa karena berpuasa merupakan tameng baginya (HR. Bukhari Muslim)

2) Menjaga masyarakat dari kejelekan dan rusaknya akhlak sehingga kalau sekiranya tidak ada pernikahan sungguh niscaya tersebarlah berbagai bentuk akhlak yang jelek di antara kaum pria dan wanita.

3) Masing-masing dari pasangan suami istri dapat merasakan kesenangan satu sama lainnya dengan ditunaikan kewajiban baginya dari hak-hak dan hubungan kekeluargaan. Sehingga seorang lelakilah yang akan memelihara wanitanya dan yang akan menunaikan nafkah bagi wanita tersebut baik berupa makanan, minuman, tempat tinggal maupun pakaian dengan baik, Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

Dan bagi mereka (para istri) kewajiban kalianlah (para suami) untuk memberikan rizki mereka dan pakaian mereka dengan baik
 (HR. Ahmad)

Isteri pun memelihara hak suami dengan menunaikan apa yang menjadi kewajibannya di rumah dari masalah penjagaan dan perbaikan, bersabda Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam :

… dan istri adalah pemimpin di rumah suaminya dan yang bertanggung jawab dari yang dipimpinnya

4) Merupakan sarana untuk menyembungkan antara keluarga dan suku sehingga berapa banyak dua keluarga yang saling berjauhan tidak saling mengenal satu sama lainnya, dengan adanya pernikahan menghasilkan kedekatan dan hubungan di antara keduanya. Oleh karena inilah Allah Subhaanahu wa Ta’aala jadikan mushaharah sebagai bahagian bagi nasab sebagaimana yang telah lalu.

5) Melanggengkan suatu jenis manusia dengan jalan yang benar sehingga pernikahan itu menjadi sebab bagi (kelangsungan) keturunan yang menyebabkan berlangsungnya (kehidupan) manusia, Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman :

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. (QS. An Nisaa : 1)

Dan kalau sekiranya tidak ada pernikahan niscaya akan terjadi salah satu dari dua kemungkinan:
PertamaBinasanya (keturunan) manusia
Kedua : Atau munculnya generasi manusia dari hasil perzinahan yang tidak mengenal asal usulnya dan tidak bermoral.

Sumber : Maka.., Menikahlah, Penulis : Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin, Penerbit : Ittibaus Salaf Press.

Cinta ???

Banyak orang berbicara tentang masalah ini tapi tidak sesuai dengan yang sebenarnya. Atau tidak menjelaskan batasan-batasan dan maknanya secara syari. Dan kapan seseorang itu keluar dari batasan-batasan tadi. Dan seakan-akan yang menghalangi untuk membahas masalah ini adalah salahnya ¬pemahaman bahwa pembahasan masalah ini berkaitan dengan akhlaq yangrendah dan berkaitan dengan perzinahan, perkataan yang keji. Dan hal in adalah salah. Tiga perkara ini adalah sesuatu yang berkaitan dengan manusia yang memotivasi untuk menjaga dan mendorong kehormatan dan kemuliaannya.

Aku memandang pembicaraan ini yang terpenting adalah batasannya, penyimpangannya, kebaikannya, dan kejelekannya. Tiga kalimat ini ada dalam setiap hati manusia, dan mereka memberi makna dari tiga hal ini sesuai dengan apa yang mereka maknai.

1. Cinta (AI-Hubb)

Cinta yaitu Al-Widaad yakni kecenderungan hati pada yang dicintai, dan itu termasuk amalan hati, bukan amalan anggota badan/dhahir. Pernikahan itu tidak akan bahagia dan berfaedah kecuali jika ada cinta dan kasih sayang diantara suami-isteri. Dan kuncinya kecintaan adalah pandangan. Oleh karena itu, Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, menganjurkan pada orang yang meminang untuk melihat pada yang dipinang agar sampai pada kata sepakat dan cinta, seperti telah kami jelaskan dalam bab Kedua.

Sungguh telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Nasa’i dari Mughirah bin Su’bah Radhiyallahu ‘anhu berkata ;”Aku telah meminang seorang wanita”, lalu Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadaku :’Apakah kamu telah melihatnya ?” Aku berkata :”Belum”, maka beliau bersabda : ‘Maka lihatlah dia, karena sesungguhnya hal itu pada akhimya akan lebih menambah kecocokan dan kasih sayang antara kalian berdua’

Sesungguhnya kami tahu bahwa kebanyakan dari orang-orang, lebih-lebih pemuda dan pemudi, mereka takut membicarakan masalah “cinta”, bahkan umumnya mereka mengira pembahasan cinta adalah perkara-perkara yang haram, karena itu mereka merasa menghadapi cinta itu dengan keyakinan dosa dan mereka mengira diri mereka bermaksiat, bahkan salah seorang diantara mereka memandang, bila hatinya condong pada seseorang berarti dia telah berbuat dosa.

Kenyataannya, bahwa di sini banyak sekali kerancuan-kerancuan dalam pemahaman mereka tentang “cinta” dan apa-apa yang tumbuh dari cinta itu, dari hubungan antara laki-laki dan perempuan. Dimana mereka beranggapan bahwa cinta itu suatu maksiat, karena sesungguhnya dia memahami cinta itu dari apa-apa yang dia lihat dari lelaki-lelaki rusak dan perempuan-perempuan rusak yang diantara mereka menegakkan hubungan yang tidak disyariatkan. Mereka saling duduk, bermalam, saling bercanda, saling menari, dan minum-minum, bahkan sampai mereka berzina di bawah semboyan cinta. Mereka mengira bahwa ‘cinta’ tidak ada lain kecuali yang demikian itu. Padahal sebenarnya tidak begitu, tetapi justru sebaliknya.

Sesungguhnya kecenderungan seorang lelaki pada wanita dan kecenderungan wanita pada lelaki itu merupakan syahwat dari syahwat¬-syahwat yang telah Allah hiaskan pada manusia dalam masalah cinta, Artinya Allah menjadikan di dalam syahwat apa-apa yang menyebabkan hati laki-laki itu cenderung pada wanita, sebagaimana firman Allah Ta’ala (yang artinya) :

Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu : wanita-wanita, anak-anak,… “,
(Q.S Ali¬-Imran : 14)

Andaikan tidak ada rasa cinta lelaki pada wanita atau sebaliknya, maka tidak ada pernikahan, tidak ada keturunan dan tidak ada keluarga. Namun, Allah Ta’ala tidaklah menjadikan lelaki cinta pada wanita atau sebaliknya supaya menumbuhkan diantara keduanya hubungan yang diharamkan, tetapi untuk menegakkan hukum-hukum yang disyari’atkan dalam bersuami isteri, sebagaimana tercantum dalam hadits Ibnu Majah, dari Abdullah bin Abbas radiyallahu anhuma berkata : telah bersabda Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam :

Tidak terlihat dua orang yang saling mencintai, seperti pemikahan .�?

Dan agar orang-orang Islam menjauhi jalan-jalan yang rusak atau keji, maka Allah telah menyuruh yang pertama kali agar menundukan pandangan, karena pandangan’ itu kuncinya hati, dan Allah telah haramkan semua sebab-sebab yang mengantarkan pada Fitnah, dan kekejian, seperti berduaan dengan orang yang bukan mahramya, bersenggolan, bersalaman, berciuman antara lelaki dan wanita, karena perkara ini dapat menyebabkan condongnya hati. Maka bila hati telah condong, dia akan sulit sekali menahan jiwa setelah itu, kecuali yang dirahmati Allah Subhanahu wa ta’ala.

Allah lah yang menghiasi bagi manusia untuk cinta pada syahwat ini, maka manusia mencintainya dengan cinta yang besar, dan sungguh telah tersebut dalam hadits bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

Diberi rasa cinta padaku dari dunia kalian ; wanita dan wangi¬-wangian dan dijadikan penyejuk mataku dalam sholat�?
( HR Ahmad, Nasa’i, Hakim dan Baihaqi)

Bahwa Allah tidak akan menyiksa manusia dalam kecenderungan hatinya. Akan tetapi manusia akan disiksa dengan sebab jika kecenderungan itu diikuti dengan amalan-amalan yang diharamkan. Contohnya : apabila lelaki dan wanita saling pandang memandang atau berduaan atau duduk cerita panjang lebar, lalu cenderunglah hati keduanya dan satu sama lainnya saling mencinta, maka kecondongan ini tidak akan menyebabkan keduanya disiksanya, karena hal itu berkaitan dengan hati, sedang manusia tidak bisa untuk menguasai hatinya. Akan tetapi, keduanya diazab karena yang dia lakukan. Dan karena keduanya melakukan sebab yang menyampaikan pada ‘cinta’, seperti telah kami sebutkan. Dan keduanya akan dimintai tanggungjawab dan akan disiksa juga dari setiap keharaman yang dia perbuat setelah itu.

Adapun cinta yang murni yang dijaga kehormatannya, maka tidak ada dosa padanya, bahkan telah disebutkan oleh sebagian ulama seperti Imam Suyuthi, bahwa orang yang mencintai seseorang lalu menjaga kehormatan dirinya dan dia menyembunyikan cintanya maka dia diberi pahala, sebagaimana akan dijelaskan dalam ucapan kami dalam bab ‘Rindu’. Dan dalam keadaan yang mutlak, sesungguhnya yang paling selamat yaitu menjauhi semua sebab-sebab yang menjerumuskan hati dalam persekutuan cinta, dan mengantarkan pada bahaya-bahaya yang banyak, namun sangat sedikit mereka yang selamat.

2. Rindu (Al-’Isyq)

Rindu itu ialah cinta yang berlebihan, dan ada rindu yang disertai dengan menjaga diri dan ada juga yang diikuti dengan kerendahan. Maka rindu tersebut bukanlah hal yang tercela dan keji secara mutlak. Tetapi bisa jadi orang yang rindu itu, rindunya disertai dengan menjaga diri dan kesucian, dan kadang-kadang ada rindu itu disertai kerendahan dan kehinaan.

Sebagaimana telah disebutkan, dalam ucapan kami tentang cinta maka rindu juga seperti itu, termasuk amalan hati, yang orang tidak mampu menguasainya. Tapi manusia akan dihisab atas sebab-sebab yang diharamkan dan atas hasil-hasilnya yang haram. Adapun rindu yang disertai dengan menjaga diri padanya dan menyembunyikannya dari orang-orang, maka padanya pahala, bahkan Ath-Thohawi menukil dalam kitab Haasyi’ah Marakil Falah dari Imam Suyuthi yang mengatakan bahwa termasuk dari golongan syuhada di akhirat ialah orang-orang yang mati dalam kerinduan dengan tetap menjaga kehormatan diri dan disembunyikan dari orang-orang meskipun kerinduan itu timbul dari perkara yang haram sebagaimana pembahasan dalam masalah cinta.

Makna ucapan Suyuthi adalah orang-orang yang memendam kerinduan baik laki-laki maupun perempuan, dengan tetap menjaga kehormatan dan menyembunyikan kerinduannya sebab dia tidak mampu untuk mendapatkan apa yang dirindukannya dan bersabar atasnya sampai mati karena kerinduan tersebut maka dia mendapatkan pahala syahid di akhirat.

Hal ini tidak aneh jika fahami kesabaran orang ini dalam kerinduan bukan dalam kefajiran yang mengikuti syahwat dan dia bukan orang yang rendah yang melecehkan kehormatan manusia bahkan dia adalah seorang yang sabar, menjaga diri meskipun dalam hatinya ada kekuatan dan ada keterkaitan dengan yang dirindui, dia tahan kekerasan jiwanya, dia ikat anggota badannya sebab ini di bawah kekuasaannya. Adapun hatinya dia tidak bisa menguasai maka dia bersabar atasnya dengan sikap afaf (menjaga diri) dan menyembunyikan kerinduannya sehingga dengan itu dia mendapa pahala.

3. Cemburu (Al-Ghairah)

Cemburu ialah kebencian seseorang untuk disamai dengan orang lain dalam hak-haknya, dan itu merupakan salah satu akibat dari buah cinta. Maka tidak ada cemburu kecuali bagi orang yang mencintai. Dan cemburu itu ternasuk sifat yang baik dan bagian yang mulia, baik pada laki-laki atau wanita.

Ketika seorang wanita cemburu maka dia akan sangat marah ketik~asuaminya berniat kawin dan ini fitrah padanya. Sebab perempuan tidak akan menerima madunya karena kecemburuannya pada suami, dia senang bila diutamakan, sebab dia mencintai suaminya. Jika dia tidak mencintai suaminya, dia tidak akan peduli (lihat pada bab 1). Kita tekankan lagi disini bahwa seorang wanita akan menolak madunya, tetapi tidak boleh menolak hukum syar’i tentang bolehnya poligami. Penolakan wanita terhadap madunya karena gejolak kecemburuan, adapun penolakan dan pengingkaran terhadap hukum syar’i tidak akan terjadi kecuali karena kelalaian dan kesesatan.

Adapun wanita yang shalihah, dia akan menerima hukum-hukum syariat dengan tanpa ragu¬-ragu, dan dia yakin bahwa padanya ada semua kebaikan dan hikmah. Dia tetap memiliki kecemburuan terhadap suaminya serta ketidaksenangan terhadap madunya.
Kami katakan kepada wanita-wanita muslimah khususnya, bahwa ada bidadari yang jelita matanya yang Allah Ta’ala jadikan mereka untuk orang mukmin di sorga. Maka wanita muslimat tidak boleh mengingkari adanya ‘bidadari’ ini untuk orang mukmin atau mengingkari hai-hal tersebut, karena dorongan cemburu.

Maka kami katakan padanya :
1. Dia tidak tahu apakah dia akan berada bersama suaminya di surga kelak atau tidak.
2. Bahwa cemburu tidak ada di surga, seperti yang ada di dunia.
3. Bahwasanya Allah Subhanahu wa ta’ala telah mengkhususkan juga bagi wanita dengan kenikmatan-kenikmatan yang mereka ridlai, meski klta tidak mengetahui secara rinci.
4. Surqa merupakan tempat yang kenikmatannya belum pernah terlihat oleh mata, terdengar oleh telinga dan terbetik dalam hati manusia, seperti firman Allah Ta’ala :
“Seorangpun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaltu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata scbagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan�?
(Q.S As-Sajdah : 17)

Oleh karena itu, tak seorang pun mengetahui apa yang tcrsembunyi bagi mereka dari bidadari-bidadari penyejuk mata sebagai balasan pada apa-apa yang mereka lakukan. Dan di sorga diperoleh kenikmatan-kenikmatan bagi mukmin dan mukminat dari apa-apa yang mereka inginkan, dan juga didapatkan hidangan-hidangan, dan akan menjadi saling ridho di antara keduanya sepenuhnya. Maka wajib bagi keduanya (suami-isteri) di dunia ini untuk beramal sholeh agar memperoleh kebahagiaan di sorga dengan penuh kenikmatan dan rahmat Allah Ta’ala yang sangat mulia lagi pemberi rahmat.

Adapun kecemburuan seorang laki-laki pada keluarganya dan kehormatannya, maka hal tersebut ‘dituntut dan wajib’ baginya karena termasuk kewajiban seorang laki-laki untuk cemburu pada kehormatannya dan kemuliaannya. Dan dengan adanya kecemburuan ini, akan menolak adanya kemungkaran di keluarganya. Adapun contoh kecemburuan dia pada isteri dan anak-anaknya, yaitu dengan cara tidak rela kalau meraka telanjang dan membuka tabir di depan laki-laki yang bukan mahramnya, bercanda bersama mereka, hingga seolah-olah laki-laki itu saudaranya atau anak-anaknya.

Anehnya bahwa kecemburuan seperti ini, di jaman kita sekarang dianggap ekstrim-fanatik, dan lain-lain. Akan tetapi akan hilang keheranan itu ketika kita sebutkan bahwa manusia di jaman kita sekarang ini telah hidup dengan adat barat yang jelek. Dan maklum bahwa masyarakat barat umumnya tidak mengenal makna aib, kehormatan dan tidak kenal kemuliaan, karena serba boleh (permisivisme), mengumbar hawa nafsu kebebasan saja. Maka orang¬orang yang mengagumi pada akhlaq-akhlaq barat ini tidak mau memperhatikan pada akhlaq Islam yang dibangun atas dasar penjagaan kehormatan, kemuliaan clan keutamaan.

Sesungguhnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah mensifati seorang laki-laki yang tidak cemburu pada keluarganya dengan sifat-¬sifat yang jelek, yaitu Dayyuuts: Sungguh ada dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabraani dari Amar bin Yasir ; serta dari Al-Hakim, Ahmad dan Baihaqi dan Abdullah bin Amr , dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ada tiga golongan yang tidak akan masuk surga yaitu peminum khomr, pendurhaka orang tua dan dayyuts. Kemudian Nabi menjelaskan tentang dayyuts, yaitu orang yang membiarkan keluarganya dalam kekejian atau kerusakan, dan keharaman.

(Dikutip darikitab Ushulul Mu’asyarotil Zaujiyah, Penulis: Al-Qodhi Asy-Syaikh Muhammad Ahmad Kan’an, Edisi Indonesia “Tata Pergaulan Suami Istri Jilid I�? Penerbit Maktabah Al-Jihad, Jogjakarta)

Bersamamu dalam Naungan Ilmu

Membangun kehidupan rumah tangga yang harmonis memang menjadi dambaan. Namun tentu saja untuk mencapainya bukan persoalan mudah. Butuh kesiapan dalam banyak hal terutama dari sisi ilmu agama. Sesuatu yang mesti dipunyai seorang istri, terlebih sang suami.

Tidak salah jika ada yang mengatakan bahwa menikah berarti menjalani hidup baru. Karena dalam kehidupan pasca pernikahan memang dijumpai banyak hal yang sebelumnya tidak didapatkan saat melajang. Tentunya semua itu bisa dirasakan oleh mereka yang telah membangun mahligai rumah tangga.

Pernikahan juga merupakan kehidupan orang dewasa. Sebab, banyak hal yang harus dihadapi dan diselesaikan dengan pikiran orang yang dewasa, bukan dengan pikiran kanak-kanak. Masalah hubungan suami istri, pendidikan anak, ekonomi keluarga, hubungan kemasyarakatan, dan lain sebagainya, mau tidak mau akan hadir dalam kehidupan mereka yang telah berkeluarga.

Maka, tidak salah pula bila dikatakan untuk menikah itu butuh ilmu syar‘i, baik pihak istri, terlebih lagi pihak suami sebagai qawwam (pemimpin) bagi keluarganya. Karena dengan ilmu yang disertai amalan, akan tegak segala urusan dan akan lurus jalan kehidupan. Namun sangat disayangkan, sisi yang satu ini sering luput dari persiapan dan sering terabaikan, baik sebelum pernikahan terlebih lagi pasca pernikahan.

Pendidikan Keluarga

Allah Azza wa Jalla berfirman:

Kaum laki-laki (suami) adalah qawwam (pemimpin) bagi kaum wanita (istri).? (An-Nisaa’: 34)

Salah satu tugas suami sebagai qawwam adalah memberikan pendidikan agama kepada istri dan anak-anaknya, meluruskan mereka dari penyimpangan, dan mengenalkan mereka kepada kebenaran. Karena Allah Azza wa Jalla telah berfirman:

Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri-diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.? (At-Tahrim: 6)

Menjaga keluarga yang dimaksud dalam butiran ayat yang mulia ini adalah dengan cara mendidik, mengajari, memerintahkan mereka, dan membantu mereka untuk bertakwa kepada Allah Subhaanahu wa Ta’aala, serta melarang mereka dari bermaksiat kepada-Nya. Seorang suami wajib mengajari keluarganya tentang perkara yang di-fardhu-kan oleh Allah Subhaanahu wa Ta’aala. Bila ia mendapati mereka berbuat maksiat segera dinasehati dan diperingatkan. (Tafsir Ath-Thabari, 28/166, Ruhul Ma‘ani, 28/156)

Asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa`di rahimahullah berkata: “Menjaga jiwa dari api neraka bisa dilakukan dengan mengharuskan jiwa tersebut untuk berpegang dengan perintah Allah, melaksanakan apa yang diperintahkan, menjauhi apa yang dilarang, dan bertaubat dari perkara yang mendatangkan murka dan adzab-Nya. Di samping itu, menjaga istri dan anak-anak dilakukan dengan cara mendidik dan mengajari mereka, serta memaksa mereka untuk taat kepada perintah Allah. Seorang hamba tidak akan selamat kecuali bila ia menegakkan perkara Allah pada dirinya dan pada orang-orang yang berada di bawah perwaliannya seperti istri, anak-anak, dan selain mereka.? (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 874)

Ayat ini menunjukkan wajibnya suami mengajari anak-anak dan istri tentang perkara agama dan kebaikan serta adab yang dibutuhkan. Hal ini semisal dengan firman Allah Azza wa Jalla � kepada Nabi-Nya Shallallaahu ‘alaihi wasallam :

Perintahkanlah keluargamu untuk melaksanakan shalat dan bersabarlah dalam menegakkannya.? (Thaha: 132)

Berilah peringatan kepada karib kerabatmu yang terdekat.? (Asy-Syu`ara: 214)

Ini menunjukkan keluarga yang paling dekat dengan kita memiliki kelebihan dibanding yang lain dalam hal memperoleh pengajaran dan pengarahan untuk taat kepada Allah Azza wa Jalla. (Ahkamul Qur’an, 3/697)

Malik Ibnul Huwairits radiyallahu ‘anhu mengabarkan: “Kami mendatangi Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam dan ketika itu kami adalah anak-anak muda yang sebaya. Lalu kami tinggal bersama beliau di kota Madinah selama sepuluh malam. Kami mendapati beliau Shallallaahu ‘alaihi wasallam adalah seorang yang penyayang lagi lembut. Saat sepuluh malam hampir berlalu, beliau menduga kami telah merindukan keluarga kami karena sekian lama berpisah dengan mereka. Beliau pun bertanya tentang keluarga kami, maka cerita tentang mereka pun meluncur dari lisan kami. Setelahnya beliau Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:

Kembalilah kalian kepada keluarga kalian, tinggallah di tengah mereka dan ajari mereka, serta perintahkanlah mereka.? (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 628 dan Muslim no. 674)

Dalam hadits di atas, Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kepada shahabatnya untuk memberikan taklim (pengajaran) kepada keluarga dan menyampaikan kepada mereka ilmu yang didapatkan saat bermajelis dengan seorang ‘alim.

Dengan penjelasan yang telah lewat, dapat dipahami bahwa seorang suami/ kepala rumah tangga harus memiliki ilmu yang cukup untuk mendidik anak istrinya, mengarahkan mereka kepada kebenaran, dan menjauhkan mereka dari penyimpangan.

Namun sangat disayangkan, kenyataan yang kita lihat banyak kepala keluarga yang melalaikan hal ini. Yang ada di benak mereka hanyalah bagaimana mencukupi kebutuhan materi keluarganya sehingga mereka tenggelam dalam perlombaan mengejar dunia, sementara kebutuhan spiritual tidak masuk dalam hitungan. Anak dan istri mereka hanya dijejali dengan harta dunia, bersenang-senang dengannya, namun bersamaan dengan itu mereka tidak mengerti tentang agama.

Paling tidak, bila seorang suami tidak bisa mengajari keluarganya, mungkin karena kesibukannya atau keterbatasan ilmunya, ia mencarikan pengajar agama untuk anak istrinya, atau mengajak istrinya ke majelis taklim, menyediakan buku-buku agama, kaset-kaset ceramah/ taklim sesuai dengan kemampuannya, dan menganjurkan keluarganya untuk membaca/ mendengarnya.

Mendidik Istri

Memasuki masa-masa awal pernikahan, semestinya seorang suami telah merencanakan pendidikan agama bagi istrinya. Minimalnya ia mempunyai pandangan ke arah sana. Dan sebelum menjadi seorang ayah, semestinya ia telah menyiapkan istrinya untuk menjadi pendidik anak-anaknya kelak karena:

Ibu adalah madrasah (sekolah) bagi anak-anaknya?, kata penyair Arab.

Perlu juga diperhatikan, bahwa mendapatkan pengajaran agama termasuk salah satu hak istri yang seharusnya ditunaikan oleh suami dan termasuk hak seorang wanita yang harus ditunaikan walinya. Namun pada prakteknya, hak ini seringkali tidak terpenuhi sebagaimana mestinya. Sehingga tepat sekali ucapan Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi‘i rahimahullah yang membagi manusia menjadi tiga macam dalam mengurusi wanita:

PertamaMereka yang melepaskan wanita begitu saja sekehendaknya, membiarkannya bepergian jauh tanpa mahram, bercampur baur di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi, di tempat kerja seperti kantor dan di rumah sakit. Sehingga mengakibatkan rusaknya keadaan kaum muslimin.

KeduaMereka yang menyia-nyiakan wanita tanpa taklim (pengajaran), membiarkannya seperti binatang ternak, sehingga ia tidak tahu sedikit pun kewajiban yang Allah bebankan padanya. Wanita seperti ini akan menjatuhkan dirinya kepada fitnah dan penyelisihan terhadap perintah-perintah Allah Subhaanahu wa Ta’aala, bahkan akan merusak keluarganya.

KetigaMereka yang memberikan pengajaran agama kepada wanita sesuai dengan kandungan Al Qur’an dan As Sunnah, karena melaksanakan perintah Allah Subhaanahu wa Ta’aala :

Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri-diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.? (At- Tahrim: 6)

Dan karena Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya/ dimintai tanggung jawab tentang apa yang dipimpinnya.? (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 893 dan Muslim no. 1829)
(Nashihati lin Nisa’, Ummu ‘Abdillah Al-Wadi`iyyah, hal. 7-8)

Seorang istri perlu diajari tentang perkara yang dibutuhkannya dalam kehidupan sehari-hari, siang dan malamnya, tentang tauhid, bahaya syirik, maksiat dan penyakit-penyakit hati berikut pengobatannya. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam sendiri menyediakan waktu khusus untuk mengajari para wanita. Abu Sa’id Al-Khudri radiyallahu ‘anhu berkata: “Datang seorang wanita kepada Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam, lalu ia berkata:

“’Wahai Rasulullah! Kaum laki-laki telah pergi membawa haditsmu, maka berikanlah untuk kami satu hari yang khusus di mana kami dapat mendatangimu untuk belajar kepadamu dari ilmu yang Allah telah ajarkan padamu.’ Beliau pun bersabda: ‘Berkumpullah kalian pada hari ini dan itu di tempat ini (yakni beliau menyebutkan waktu dan tempat tertentu)’. Hingga mereka pun berkumpul pada hari dan tempat yang dijanjikan untuk mengambil ilmu dari beliau sesuai dengan apa yang diajarkan Allah kepada beliau.? (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 101 dan Muslim no. 2633)

Bahkan istri-istri Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam “lahir? dari madrasah nubuwwah dan mereka menuai bekal ilmu yang banyak terutama Ummul Mukminin Aisyah radiyallahu ‘anha yang besar dalam asuhan madrasah yang mulia ini. Sepeninggal suami mereka, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam, mereka menjadi pendidik umat bersama dengan para shahabat yang lain, semoga Allah meridhai mereka.

Gambaran Pengajaran Seorang ‘Alim terhadap Keluarga Mereka

Para pendahulu kita yang shalih (salafunash shalih) sangat mementingkan pendidikan agama bagi keluarga mereka. Di samping mereka berdakwah kepada umat di luar rumah, mereka juga tidak melupakan orang-orang yang berada dalam rumah mereka (keluarga). Tidak seperti kebanyakan manusia pada hari ini yang sibuk dengan urusan mereka di luar rumah sehingga melalaikan pendidikan istrinya.

Bahkan sangat disayangkan hal ini juga menimpa keluarga da‘i. Ia sibuk berdakwah kepada masyarakatnya sementara istrinya di rumah tidak mengerti tata cara shalat yang diajarkan oleh Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam, tidak tahu cara menghilangkan najis, dan sebagainya. Yang lebih parah, istri atau anaknya tidak mengerti tentang tauhid dan syirik. Bandingkan dengan apa yang ada pada salaf!

Lihatlah keluarga Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullah. Beliau demikian bersemangat menyebarkan ilmu di tengah keluarganya dan kerabatnya sebagaimana semangatnya menyampaikan ilmu kepada orang lain. Kesibukan beliau dalam dakwah di luar rumah dan dalam menulis ilmu tidaklah melalaikan beliau untuk memberi taklim kepada keluarganya. Dari hasil pendidikan ini lahirlah dari keluarga beliau orang-orang yang terkenal dalam ilmu khususnya ilmu hadits, seperti: saudara perempuannya Sittir Rakb bintu ‘Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Hajar Al-’Asqalani, istrinya Uns bintu Al-Qadhi Karimuddin Abdul Karim bin ‘Abdil ‘Aziz, putrinya Zain Khatun, Farhah, Fathimah, ‘Aliyah, dan Rabi`ah. (Inayatun Nisa bil Haditsin Nabawi, hal. 126-127)

Lihat pula bagaimana Sa’id Ibnul Musayyab rahimahullah membesarkan dan mengasuh putrinya dalam buaian ilmu hingga ketika menikah suaminya mengatakan ia mendapati istrinya adalah orang yang paling hapal dengan kitabullah, paling mengilmuinya, dan paling tahu tentang hak suami. (Al-Hilyah, 2/167-168, As-Siyar, 4/233-234)

Demikian pula kisah keilmuan putri Al-Imam Malik rahimahullah. Dengan bimbingan ayahnya, ia dapat menghapal Al-Muwaththa’ karya sang Imam. Bila ada murid Al-Imam Malik membacakan Al-Muwaththa’ di hadapan beliau, putrinya berdiri di belakang pintu mendengarkan bacaan tersebut. Hingga ketika ada kekeliruan dalam bacaan ia memberi isyarat kepada ayahnya dengan mengetuk pintu. Maka ayahnya (Al-Imam Malik) pun berkata kepada si pembaca: “Ulangi bacaanmu karena ada kekeliruan?. (Inayatun Nisa’, hal. 121)

Perhatian pendahulu kita rahimahumullah terhadap pendidikan keluarganya ternyata juga kita dapatkan dari ulama yang hidup di zaman kita ini, sepertiAsy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi‘i rahimahullah. Dalam sehari beliau menyempatkan waktu untuk mengajari anak istrinya tentang perkara-perkara agama yang mereka butuhkan, hingga mereka mapan dalam ilmu dan dapat memberi faedah kepada saudara mereka sesama muslimah dalam majelis yang mereka adakan atau dari karya tulis yang mereka hasilkan. Demikian kisah ulama kita dengan keluarganya, lalu di mana tempat kita bila dibanding dengan mereka ?

Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.

Makna, Hukum, dan Tujuan Perkawinan

A. MAKNA PERKAWINAN

Pengertian Secara Bahasa

Az-zawaaj adalah kata dalam bahasa arab yang menunjukan arti: bersatunya dua perkara, atau bersatunya ruh dan badan untuk kebangkitan.Sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla (yang artinya):

Dan apabila ruh-ruh dipertemukan (dengan tubuh)” (Q.S At-Takwir : 7)

dan firman-Nya tentang nikmat bagi kaum mukminin di surga, yang artinya mereka disatukan dengan bidadari :

Kami kawinkan mereka dengan bidadari-bidadari yang cantik lagi bermata jeli (Q.SAth-Thuur : 20)

Karena perkawinan menunjukkan makna bergandengan, maka disebut juga “Al¬-Aqd, yakni bergandengan (bersatu)nya antara laki-laki dengan perempuan, yang selanjutnya diistilahkan dengan “zawaaja�?.

Pengertian Secara Syar’i

Adapun secara syar’i perkawinan itu ialah ikatan yang menjadikan halalnya bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan, dan tidak berlaku, dengan adanya ikatan tersebut, larangan-larangan syari’at.

Lafadz yang semakna dengan “AzZuwaaj” adalah “An-Nikaah“; sebab nikah itu artinya saling bersatu dan saling masuk. Ada perbedaan pendapat di antara para ulama tentang maksud dari lafadz “An-Nikaah” yang sebenarnya. Apakah berarti “perkawinan” atau “jima’”.

Selanjutnya, ikatan pernikahan merupakan ikatan yang paling utama karena berkaitan dengan dzat manusia dan mengikat antara dua jiwa dengan ikatan cinta dan kasih sayang, dan karena ikatan tersebut merupakan sebab adanya keturunan dan terpeliharanya kemaluan dari perbuatan keji.

B. HUKUM PERKAWINAN

An-Nikaah hukumnya dianjurkan, karena nikah itu termasuk sunnah Nabi Shalallahu’alaihi Wassallam sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim bahwasanya telah berkata Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu:
Telah datang tiga orang ke rumah istri-istri nabi Shalallahu’alaihi Wassallam. Mereka bertanya tentang ibadahnya, maka tatkala telah diberitahu maka seakan-akan merasa amalnya sangat sedikit, lalu mereka berkata: “Dimana kita dibanding Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam, sungguh Allah mengampuni dosa beliau yang telah lalu dan yang akan datang”. Maka berkata seseorang di antara mereka, “Adapun saya, maka saya akan shalat malam selamanya”, dan berkata seorang lagi, “Aku akan berpuasa sepanjang masa,�? dan yang lainnya,”Aku akan meninggalkan wanita, tidak akan menikah�?. Lalu datang Nabi Shalallahu’alaihi Wassallam, kemudian beliau Shalallahu’alaihi Wassallam berkata:
‘Kaliankah yang telah berkata begini dan begitu ? Demi Allah, sungguh aku adalah orang yang paling takut dan paling taqwa dari kalian, akan tetapi aku shalat dan aku tidur, aku puasa dan aku berbuka, dan aku menikahi wanita. Maka barang siapa yang membenci pada sunnahku, maka dia tidak termasuk golnganku�?.

Makna dari “barang siapa yang membenci sunnahku” adalah berpaling dari jalanku dan menyelisihi apa yang aku kerjakan, sedang makna “bukan dari golonganku” yakni bukan dari golongan yang lurus dan yang mudah, sebab dia memaksakan dirinya dengan apa yang tidak diperintahkan dan membebani dirinya dengan sesuatu yang berat. Jadi, maksudnya adalah barang siapa yang menyelisihi petunjuk dan jalannya Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam, dan berpendapat apa yang dia kerjakan dari ibadah itu lebih baik dari apa yang dikerjakan oleh Rasulullah . Sehingga makna dari ucapan bukan dari golonganku” adalah bukan termasuk orang Islam, karena keyakinannya tersebut menyebabkan kekufuran.

Hukum nikah ini sunnah untuk orang yang bisa menanahan biologis dan tidak khawatir terjerumus ke dalam zina jika dia tidak menikah, dan dia telah mampu untuk memenuhi nafkah dan tanggung keluarga.

Adapun orang yang takut akan dirinya terjerumus ke dalam zina, jika dia tidak nikah, atau orang yang tidak mampu meninggalkan zina kecuali dengan nikah, maka nikah itu wajib atasnya. Dan untuk masalah nikah secara panjang lebar terdapat dalam kitab-kitab Fiqh.

C. TUJUAN PERNIKAHAN

Sesungguhnya perintah itu ikatan yang mulia dan penuh barakah. Allah Subhanahu Wa Ta’ala mensyari’atkan untuk kemaslahatan hamba-Nya dan kemanfaatan bagi manusia, agar tercapai maksud-maksud yang baik dan tujuan-tujuan yang mulia. Dan yang terpenting dari tujuan pernikahan ada dua, yaitu:

1. Mendapatkan keturunan atau anak
2. Menjaga diri dari yang haram

Maksud Pertama “Mendapatkan Keturunan atau Anak

Dianjurkan dalam pernikahan tujuan pertamanya adalah untuk mendapatkan keturunan yang shaleh, yang menyembah pada Allah dan mendo’akan pada orangtuanya sepeninggalnya, dan menyebut-sebut kebaikannya di kalangan manusia serta menjaga nama baiknya. Sungguh ada dalam hadits dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu
berkata : Adalah Nabi salallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh kami menikah dan melarang membujang dengan larangan yang keras dan belia bersabda :

Nikahkah oleh kalian perempuan-perempuan yang pecinta dan peranak, maka sungguh aku berbangga dengan banyaknya kalian dari para Nabi di hari kiamat.�?

Al Walud (banyak anak), Al Wadud (pecinta), di mana dia mempunyai unsur-unsur kebaikan dan baik perangainya dan mencintai suaminya, Al-Makaatsarat ialah bangga dengan banyaknya umat shallallahu alaihi wa alaihi wa sallam di hari kiamat, maka Nabi,
Berbangga dengan banyaknya umatnya dari semua para Nabi. Karena siapa yang umatnya lebih banyak maka pahalanya lebih banyak dan bagi beliau mendapat seperti pahala orang yang mengikutinya sampai hari kiamat. Inilah tujuan yang besar dari pernikahan. Berfirman Allah Sub,hanahu wa Ta’ala (yang artinya) :

Dan Dia (Allah) telah menjadikan bagimu dari istri-istrimu itu, anak-anak dan cucu-cucu�?. (Q.S An-Nahl-72)

Al-Hafadah (jama’ dari hafid artinya cucu; yang dimaksud dalam ayat ini adalah anaknya anak dan anak-anak keturunan mereka.

Maka manusia dengan fitrah yang Allah berikan padanya dijadikan rnencintai anak-anak karena Allah menghiasi manusia dengan cinta pada anak-anak. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman (yang artinya) :

Dijadikan indah pada (pandangan ) manusia, kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu ; wanita-wanita, anak-anak,…�?(Q.S Ali-Imran -14)

Manusia memiliki naluri cinta pada anak-anak, karenanya Allah Subhanahu waTa’ala jadikan anak-anak sebagai perhiasan kehidupan dunia. Berfirman Allah (yang artinya):

Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia.�?

Namun karena terlalu cintanya pada anak-anaknya, kadang-kadang bisa menjerumuskan ke dalam fitnah, sehingga dia bermaksiat pada Allah dengan sebab anak-anaknya. Allah berfirman (yang artinya):

Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu) dan di sisi Allah-lah pahala yang besar. (Q.S At-Taghabun : 15)

Dan bila telah keterlaluan fitnah anak pada manusia, maka bisa mendorong pada perbuatan haram, seperti usaha yang haram untuk menafkahi mereka, atau meninggalkan kewajiban, seperti meninggalkan jihad di jalan Allah, karena takut kalau meninggalkan anak. Maka anak dalam hal ini sama kedudukannya dengan musuh, sehingga wajib berhati-hati dari keterikatan pada mereka. Dan ini adalah makna dari firman Allah Ta’ala (yang artinya) :

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isteri dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.�? (Q.S At-Taghabun:14)

Telah ada dalam sebab Nuzul ayat ini apa yang diriwayatkan Imam Tirmidzi dan Hakim dan lainnya dari Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhuma berkata :

“Telah turun ayat ini (At-Taghabun-14) tentang suatu kaum dari ahli Makkah, mereka telah masuk Islam, lalu istri-istri mereka dan anak-anak mereka menolak ajakan mereka.
Maka ketika mereka datang pada Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam di Madinah, mereka melihat orang-orang yang mendahului mereka dengan hijrah. Sungguh mereka telah pandai-pandai dalam urusan agama, maka mereka ingin menghukum istri-istri dan anak-anak mereka, lalu Allah turunkan pada mereka ayat :

Dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Penyayang�? (Q.S At-Taghabun : 14)

Maksud Kedua : “Menjaga Diri dari yang Haram

Tidak diragukan lagi bahwa yang terpenting dari tujuan nikah ialah memelihara dari perbuatan zina dan semua perbuatan-perbuatan keji, serta tidak semata-mata memenuhi syahwat saja. Memang bahwa memenuhi syahwat itu merupakan sebab untuk bisa menjaga diri, akan tetapi tidaklah akan terwujud iffah (penjagaan) itu kecuali dengan tujuan dan niat. Maka tidak benar memisahkan dua perkara yang satu dengan lainnya, karena manusia bila mengarahkan semua keinginannya untuk memenuhi syahwatnya dengan menyandarkan pada pemuasan nafsu atau jima’ yang berulang-ulang dan tidak ada niat memelihara diri dari zina, maka dimanakah perbedaannya antara manusia dengan binatang ?

Oleh karena itu, maka harus ada bagi laki-laki dan perempuan tujuan mulia dari perbuatan bersenang-senang yang mereka lakukan itu, yaitu tujuannya memenuhi syahwat dengan cara yang halal agar hajat mereka terpenuhi, dapat memelihara diri, dan berpaling dari yang haram. Inilah yang ditunjukkan oleh Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam . Sungguh diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu berkata : telah berkata Rasulullah .:

Wahai para pemuda, barang siapa diantara kalian yang mampu maka nikahlah, karena sesungguhnya itu dapat menundukan pandangan dan memelihara kemaluan, maka barang siapa yang tidak mampu hendaknya dia berpuasa, karena sesungguhnya itu benteng
baginya.
�?

Al- Wijaa’, adalah satu jenis pengebirian, yaitu dengan mengosongkan saluran mani yang menghubungkan antara testis_dan dzakar. Dan makna hadits ini adalah : Barang siapa yang mampu di antara kamu wahai pemuda untuk berjima’ dan telah mampu untuk memikul beban-beban pernikahan dan amanahnya, maka nikahlah. Karena nikah itu akan menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Jika tidak mampu hendaknya dia berpuasa, karena puasa itu akan menghancurkan kekuatan gejolak syahwat, bagai pengebirian pada binatang buas untuk menghilangkan syahwatnya.

Maka jelaslah dari hadits ini bahwa Nabi salallahu ‘alaihi wasallam memberikan pada pernikahan itu dua perkara yang membantu pada kedua mempelai, yaitu pertama menundukan pandangan dari pandangan-pandangan yang diharamkan Allah Ta’ala dari para wanita, kedua memelihara kemaluan dari “zina” dan semua perbuatan-perbuatan keji. Sehubungan dengan makna ini telah ada hadits yang mulia yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhuma berkata :”Aku mendengar Rasulullah bersabda :

Apabila seseorang diantara kamu terkagum-kagum pada wanita lalu terkesan atau terjatuh dalam hati; maka hendaklah segera menemui isterinya lalu penuhilah hasratnya dengan isterinya, karena sesungguhnya itu akan menolak apa yang ada dihatinya atau jiwanya.�?

Adapun orang-orang yang telah menikah dan semua keinginannya dari pernikahan adalah syahwat dan jima’ semata, maka mereka tidak bertambah dengan jima’ tersebut kecuali tambah syahwat, dan dia tidak cukup dengan isterinya yang halal. Bahkan dia akan berpaling pada yang haram.

(Dikutip darikitab Ushulul Mu’asyarotil Zaujiyah, Penulis: Al-Qodhi Asy-Syaikh Muhammad Ahmad Kan’an, Edisi Indonesia “Tata Pergaulan Suami Istri Jilid I�? Penerbit Maktabah Al-Jihad, Jogjakarta)