Rabu, 15 Oktober 2008

Ada Fitnah Dalam Rumah Tangga Kita

Setelah menggenapkan separuh agama kita, bukan berarti selesai sudah tugas kita. Bahkan, itulah awal lembaran baru kehidupan. Berbagai tugas dan tanggung jawab menanti di depan mata. Sebagai pasutri baru, masing-masing tentu akan berusaha mengisi perannya.

Nah, dalam meniti biduk rumah tangga ini, ternyata tidak begitu mulus jalannya. Terkadang ada riap-riap kecil yang menerpa atau bahkan badai besar yang mengombang-ambingkan biduk tersebut. Di antara hambatan-hambatan tersebut adalah munculnya fitnah dalam keluarga. apa sajakah fitnah-fitnah tersebut? Silahkan membuka “Sakinah 1”.

Dalam edisi ini pembaca juga bisa mengetahui pengertian umum dari fitnah, bagaimana definisinya dan apa pula wujudnya. Pembahasan ini kami sajikan dalam rubrik “Fikih Keluarga”. O ya, tentu saja kami tidak lupa memberikan solusi syar’i bagaimana menghadapi fitnah tadi. Untuk itu, silahkan temukan jawabannya dalam rubrik “Sakinah 2”.

Pembaca nikah sekalian, beberapa waktu lalu muncul film “Fitna”, film garapan politisi Belanda Geert Wilders ini, penuh propaganda dan penghinaan terhadap Islam. Memang, reaksi umat Islam tidak sekeras ketika muncul kartun-kartun pelecehan terhadap panutan kita Nabi Muhammad n, bikinan orang Denmark. Sebab, sebelumnya pemerintah Belanda melarang penayangan film ini. Namun, di dunia maya, pembaca sekalian akan dengan mudah menemukan film ini (meskipun sebelumnya sempat diblokir).

Untuk itu, walaupun sudah agak terlambat, kami mencoba menguak racun-racun propaganda yang ada dalam film tersebut. Anda dapat membacanya dalam “Suplemen” edisi ini. Kami berharap semoga kaum muslimin yang terpengaruh atau termakan syubhat film itu, agar bisa mementahkan kembali racun murahan Wilders tersebut. Dan semoga Allah l menjaga kita dari makar-makar busuk orang-orang kafir.

Pembaca nikah sekalian, memang tidak mudah menghadapi berbagai fitnah dalam kehidupan. Apalagi jika aturan-aturan Islam sudah tidak dikenal dan dipedulikan. Untuk itu, marilah kita selalu berupaya menambah pengetahuan kita tentang Islam, supaya jika berbagai fitnah dan cobaan menerpa, kita siap dan sabar menghadapinya. Akhirnya mari kita resapi makna hadits berikut ini,

Sungguh menakjubkan perkara seorang mukmin. Seluruh perkaranya baik baginya. Tidak hal yang seperti ini kecuali hanya pada orang mukmin. Jika ia mendapatkan kesenangan, lantas ia bersyukur, maka hal itu baik baginya. Dan jika dia ditimpa kesulitan, lantas ia bersabar, maka itu baik baginya.” (Riwayat Muslim no. 2999)

Kesetiaan Paling Memukau Dalam Sejarah

"Demi Allah, tidak ada ganti yang lebih baik dari dia, yang beriman kepadaku saat semua orang ingkar, yang percaya kepadaku ketika semua mendustakan, yang mengorbankan semua hartanya saat semua berusaha mempertahankannya dan darinyalah aku mendapatkan keturunan."

"Demi Allah, tidak ada ganti yang lebih baik dari dia, yang beriman kepadaku saat semua orang ingkar, yang percaya kepadaku ketika semua mendustakan, yang mengorbankan semua hartanya saat semua berusaha mempertahankannya dan darinyalah aku mendapatkan keturunan."

Begitulah Rasulullah SAW menggambarkan kepribadian Siti Khadijjah r.a., istri pertamanya. Seorang isteri sejati, muslimah yang dengan segenap kemampuan diri berkorban demi kejayaan Islam.

Siti Khadijah r.a. berasal dari keturunan terhormat, mempunyai harta kekayaan yang tidak sedikit serta terkenal sebagai wanita yang tegas dan cerdas. Bukan sekali dua kali pemuka kaum Quraisy berusaha untuk mempersunting dirinya. Tetapi pilihannya, justru malah jatuh pada seorang pemuda yang bernama Muhammad, pemuda yang terkenal sebagai seorang yang terpercaya (al-amin), yang tak tergiur oleh kekayaan dan kecantikan Siti Khadijah r.a.

Siti Khadijah r.a. adalah wanita pertama yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Ia banyak membantu dalam meneguhkan tekad Rasulullah SAW ketika melaksanakan risalah dakwah. Ia senantiasa berusaha meringankan kepedihan hati dan menghilangkan keletihan serta penderitaan yang dialami oleh suaminya, dalam menjalankan tugas dakwah menegakkan kalimat tauhid. Inilah keistimewaan dan keutamaan Khadijah dalam sejarah perjuangan Islam. Beliau adalah sumber kekuatan yang berada di belakang Rasulullah SAW.

Setia Kapanpun

Mari kita singkap kembali peristiwa yang sungguh mendebarkan jantung Rasulullah SAW. Peristiwa itu ialah penerimaan wahyu yang pertama di Gua Hira. Sekembalinya ke rumah, baginda berkata kepada isterinya yang tercinta,”Aku berasa khawatir terhadap diriku.”

Siti Khadijah r.a. berusaha menabahkan hati suami yang ditaatinya dengan berkata, “Wahai kakanda, demi Allah, Tuhan tidak akan mengecewakanmu karena sesungguhnya kakanda adalah orang yang selalu memupuk dan menjaga kekeluargaan serta sanggup memikul tanggungjawab. Dirimu dikenali sebagai penolong kaum yang sengsara, sebagai tuan rumah yang menyenangkan tamu, ringan tangan dalam memberi pertolongan, senantiasa berbicara benar dan setia kepada amanah.”

Apakah ada wanita lain yang dapat menyambut sedemikian baik peristiwa bersejarah yang berlaku di Gua Hira seperti yang dilakukan oleh Khadijah kepada suaminya? Apa yang dikatakan oleh Khadijah kepada suaminya pada saat menghadapi peristiwa besar itu menunjukkan betapa besarnya kepercayaan dan kasih sayang seorang isteri kepada suami. Sedikit pun Khadijah tidak merasa ragu-ragu atau syak di dalam hatinya. Persoalannya, dapatkah kita berlaku demikian?

Siti Khadijah r.a. merupakan wanita kaya dan terkenal. Ia bisa saja hidup bermewah-mewah dengan hartanya sendiri. Namun, semua itu dengan rela dikorbankannya untuk memudahkan tugas-tugas suami. Hal ini jelas menunjukkan beliau merupakan wanita yang mendorong kemajuan pahlawan umat manusia, melindungi pejuang terbesar dalam sejarah dengan mewujudkan kedamaian dalam kehidupan rumahtangga. Sikap inilah yang menjadi salah satu sumber kekuatan Rasulullah SAW sepanjang kehidupan mereka bersama.

Setia Dimanapun

Mari kita teliti, fahami serta hayati beberapa gambaran kesetiaan Khadijah yang telah membina kekuatan pada diri dan kehidupan penegak risalah Islam itu.

Sepanjang hidupnya bersama Rasulullah SAW, Siti Khadijah begitu setia menyertai baginda dalam setiap peristiwa suka dan duka. Setiap kali suaminya ke Gua Hira, ia pasti menyiapkan semua bekal dan keperluannya. Seandainya Rasulullah SAW agak lama tidak pulang, ia akan datang menengok untuk memastikan keselamatan sang suami. Sekiranya Rasulullah SAW khusyuk bermunajat, beliau tinggal di rumah dengan sabar sehingga suaminya pulang. Apabila suaminya mengadu kesusahan serta berada dalam keadaan gelisah, sekuat diri ia menenteramkan dan menghiburkan hati suaminya sampai-sampai diliputi ketenangan. Setiap ancaman dan penganiayaan dihadapi bersama. Malah dalam banyak kegiatan peribadatan Rasulullah SAW, Siti Khadijah r.a. Dipastikan selalu ada bersama dan membantu baginda dari mulai hal kecil seperti menyediakan air untuk mengambil wudu.

Kecintaan Khadijah bukanlah sekadar kecintaan kepada suami, sebaliknya yang jelas adalah berlandaskan keyakinan yang kuat tentang keesaan Allah SWT. Segala pengorbanan untuk suaminya adalah ikhlas untuk mencari keridlaan Allah SWT. Allah Maha Adil dalam memberi rahmat-Nya. Setiap amalan yang dilaksanakan dengan penuh keikhlasan pasti mendapat ganjaran yang kekal. Itu termaktub dalam firman-Nya :

Barang siapa yang mengerjakan amalan saleh, baik lelaki maupun wanita dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik daripada apa yang telah mereka kerjakan. (Q.S. An-Nahl: 97)

Janji Allah itu pasti benar. Kesan kesetiaan Siti Khadijah r.a. bukan sekadar menghasilkan kekuatan yang mendorong kegigihan dan perjuangan Rasulullah SAW, malah membawa berkah yang besar kepada rumah tangga mereka berdua. Anak-anak yang lahir juga adalah anak-anak yang saleh. Keturunan Rasulullah SAW merupakan insan yang senantiasa taat melaksanakan perintah Allah SWT. Semua ini menghasilkan kekuatan yang membantu meningkatkan perjuangan Islam.

Wahai muslimah, sekarang adalah masa untuk kita hidupkan kembali hakikat ini dalam kehidupan kita. Semoga kekuatan Islam akan kembali menaungi kehidupan setiap insan.

Melacak Karakter Istri Sholihah dalam Al Qur'an

Makalah singkat ini menyajikan beberapa karakter perempuan sholihah yang diungkapkan beberapa ayat al-Quran. Pengungkapan ayat-ayat ini dikaitkan dengan upaya pembangunan keluarga yang diliputi suasana tentram, cinta kasih dan sayang atau keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah (samara) sebagaimana diungkapkan pada ayat:

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. (QS. 30:21)

Ayat-ayat yang digunakan sebagian terkait langsung dengan posisi perempuan sebagai istri. Sebagian ayat lain tidak terkait langsung dengan posisi perempuan sebagai istri, akan tetapi bila kita telusuri lebih jauh, ayat-ayat ini berkaitan secara tidak langsung dengan posisi istri, semisal pengungkapan ayat-ayat terkait kisah Ratu Bilqis pada surat an-Naml atau ayat-ayat yang menggambarkan sifat para bidadari di surga. Insya Allah ayat-ayat ini akan diungkapkan dalam kerangka mengungkapkan karakter istri sholihah.

Untuk memudahkan pengkajian, penulis mengelompokkan ayat-ayat untuk menggambarkan karakter istri sholihah dalam tiga profil, yaitu:

Profil Kekasih

Profil Ibu

Profil Sahabat

1. Profil Kekasih

1.1. Taat kepada Allah

Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Rabbnya akan memberi ganti kepadanya dengan isteri-isteri yang lebih baik daripada kamu, yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertaubat, yang mengerjakan ibadat, yang berpuasa, yang janda dan yang perawan. (QS. 66:5)

Menurut Muhammad Qutb, secara khusus ayat di atas merupakan pembelajaran bagi istri-istri Nabi, tentang makna kemuliaan sebagai istri di hadapan Allah swt. Akan tetapi orang beriman mendapatkan limpahan kerunia karena dapat mengambil pelajaran berharga dari pengajaran Allah ini.

Seorang perempuan sholihah itu pertama kali disifati dengan karakter ketaatannya kepada Allah swt. Mengapa kita menempatkan ketaatan kepada Allah ini sebagai karakter utama seorang kekasih? Jawabannya karena sebagai kekasih seorang itu mesti memelihara kecantikannya. Dan kecantikan hakiki seorang perempuan itu adalah pada ketaatan kepada Allah swt. Ini adalah puncak kecantikan batin, sebagaimana digambarkan Ibnul Qayyim. Dan kecantikan batin ini akan memperindah dan menyempurnakan kecantikan lahir.

Ketaatan kepada Allah diwujudkan dalam keimanan dan mewujudkan keyakinannya ini dalam amal perbuatan, taat terhadap semua aturan yang Dia tetapkan bagi perempuan muslimah, yang cepat menyadari kekeliruan dengan bertaubat, yang rajin beribadah, berpuasa dan senantiasa menjelajah kerajaanNya, ciptaanNya dan tanda-tanda keesaanNya dan kebenaran pengaturanNya di alam semesta. Inilah cakupan yang amat menyeluruh dari sifat keislaman bagi muslimah sholihah.

Diantara ketaatan praktis kepada Allah swt yang saat ini banyak ditinggalkan perempuan muslimah adalah berbusana menutup aurat (QS an Nuur:31 dan al-Ahzab:59). Ini merupakan fitnah yang amat serius, sebab Rasulullah saw pernah menegaskan,”Orang-orang perempuan yang berpakaian tetapi seperti telanjang, meliuk-liukan badannya dan rambutnya disasak, mereka tidak akan masuk surga, juga tidak akan mencium baunya surga, padahal bau surga itu dapat tercium dari jarak amat jauh.” (HR. Muslim)

1.2 Taat kepada Suami

Perempuan yang sholihah, ialah yang ta'at kepada Allah lagi memelihara diri[289] ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka) [290] (QS. 4:34)

289: Maksudnya: tidak berlaku curang serta memelihara rahasia dan harta suaminya.

290: Maksudnya: Allah telah mewajibkan kepada suami untuk mempergauli isterinya dengan baik.

Rasulullah saw menyampaikan,”Jika seorang istri itu telah menunaikan shalat lima waktu, shaum di bulan Ramadhan, menjaga kehormatannya,dan taat kepada suaminya, maka akan dipersilakan kepadanya: masuklah ke Surga dari pintu mana yang kamu suka." (HR Ibnu Hibban, al-Bazzar, Ahmad dan Thabrani, Albani menyatakan keshahihannya).

Pada pengajarannya yang lain, Rasulullah saw berkata,”Perempuan mana saja yang meninggalkan dunia sementara suaminya meridhainya pasti masuk Surga." (HR At-Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Sebaliknya kedurhakaan kepada suami akan mendatangkan kutukan dari Allah, para malaikat dan segenap manusia. Cukuplah pelajaran yang terdapat pada surat at-Tahrim menjadi peringatan bagi kaum muslimah.

Diantara sikap taat para istri kepada para suami adalah meminta ijin kepada suami jika hendak keluar rumah (tidak keluar rumah kecuali dengan ijin suami), tidak meminta bercerai tanpa alasan yang dibenarkan syariah, menjaga kesopanan dan kehormatan saat keluar rumah, tidak mengeraskan suara melebihi suami, tidak membantah suaminya dalam kebenaran, dan tidak menerima tamu yang dibenci suaminya ke dalam rumah, apalagi bermesraan dengan lelaki lain.

1.3. Lembut dan Pemalu

Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan dengan kemalu-maluan, ia berkata: "Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberi balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami" … (QS. 28:25)

Al Quran yang merupakan kalam Allah tak pernah menyampaikan sesuatu yang sia-sia. Begitu pula dengan disampaikannya sifat malu-malu pada ayat di atas, tentulah tersimpan hikmah untuk menggambarkan kemuliaan sifat perempuan.

Malu sendiri adalah bagian dari iman. Bahkan sebuah hadits pada Kumpulan 40 Hadits an-Nawawiy mengungkapkan: “Jika kamu tidak malu, maka lakukanlah apa yang ingin kamu lakukan.” Penafsiran hadits ini paling tidak ada dua. Pertama, malu menjadi parameter apakah sebuah perbuatan layak dilakukan atau tidak. Kedua, orang yang rendah rasa malunya, akan melakukan apapun yang dia mau.

Sifat pemalu ini menunjukkan kemuliaan dan penjagaan kemuliaan dirinya. Bahkan sifat sopan dan pemalu ini dijadikan daya tarik pada bidadari, sebagaimana disebutkan pada ayat-ayat berikut:

Di dalam surga itu ada bidadari-bidadari yang sopan menundukkan pandangannya …(QS. 55:56)

Di dalam surga-surga itu ada bidadari-bidadari yang baik-baik lagi cantik-cantik. Maka ni'mat Rabb kamu yang manakah yang kamu dustakan? (Bidadari-bidadari) yang jelita, putih bersih dipingit dalam rumah. (QS. 55:70-72)

1.4. Pencinta

Rasulullah saw bersabda,”Dunia ini perhiasan dan sebaik-baik perhiasan adalah perempuan yang shalihah.” (HR Muslim). Kata perhiasan terkait dengan makna keindahan. Seorang perempuan shalihah senantiasa menjaga daya tarik dirinya bagi suaminya. Isyarat tentang para bidadari menggambarkan keindahan dan keadaan penuh cinta pada mereka.

Dan (di dalam surga itu) ada bidadari-bidadari yang bermata jeli, laksana mutiara yang tersimpan baik. (QS. 56:22-23)

Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung [1452], dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan, penuh cinta lagi sebaya umurnya, (QS. 56:35-37)

1452: Maksudnya mereka diciptakan tanpa melalui kelahiran dan menjadi gadis.

Rasulullah saw mengisyaratkan keadaan istri terbaik,”Istri yang paling baik adalah, bila suami memandang kepadanya memberikan kebahagiaan; Bila menyuruhnya, mentaatinya.; Bila sang suami bepergian, ia menjaga dirinya dan hartanya." (HR An-Nasai dan dishahihkan oleh al-Iraqi).

Istri shalihah senantiasa menyenangkan hati suaminya dan menjaga suasana mesra tetap bersemi dalam keluarga. “Sesungguhnya apabila seorang suami menatap istrinya dan istrinya membalas pandangan (dengan penuh cinta kasih), maka Allah menatap mereka dengan pandangan kasih sayang. Dan jika sang suami membelai tangan istrinya, maka dosa mereka jatuh berguguran di sela-sela jari tangan mereka." (HR Maisaroh bin Ali dari Abu Said bin al-Khudri).

Saat ini para suami dihadapkan pada godaan besar di sisi hubungan intim pria-wanita. Banyak perempuan yang secara sadar atau tidak telah menjadi penggoda kaum pria baik langsung ataupun tak langsung. Maka menjadi salah satu tanggung jawab mulia bagi para istri untuk membantu para suami mencurahkan cinta mereka pada sesuatu yang halal. Di sinilah makna larangan bagi para istri menolak ajakan para suami, seperti tercatat dalam pengarahan Rasulullah saw berikut ini:

“Bila seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidurnya lalu ia menolak sehingga suaminya semalaman marah kepadanya, maka malaikat mengutuknya hingga pagi." (Muttafaqun alaihi)

Jadi hadits ini mesti ditempatkan dalam kerangka menjaga hubungan mesra dan cinta; Bukan menempatkan perempuan dalam posisi tertekan dan terpaksa dalam menjalankan hubungan intim suami-istri.

2. Profil Ibu**

2.1. Memiliki Visi Pendidikan untuk Mengabdi kepada Allah

Ingatlah), ketika isteri 'Imran berkata: "Ya Rabbku, sesungguhnya aku menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). Karena itu terimalah (nazar) itu daripadaku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". Maka tatkala isteri 'Imran melahirkan anaknya, diapun berkata: "Ya Rabbku, sesungguhnya aku melahirkannya seorang anak perempuan; dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu; dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan. Sesungguhnya aku telah menamai dia Maryam dan aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau daripada syaitan yang terkutuk". (QS. 3:35-36)

Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila ia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdo'a: "Ya Rabbku, tunjukilah aku untuk mensyukuri ni'mat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri". (QS. 46:15)

Ayat-ayat di atas mengajarkan agar para Ibu muslimah menjadikan visi terbesar pendidikan anak untuk menjadikan mereka para hamba Allah yang senantiasa berkhidmat kepada Allah swt. Kesuksesan utama orang tua dalam pendidikan anak adalah manakala mereka menjadi orang-orang yang pandai bersyukur kepada Allah.

Sikap syukur ini menyiratkan kebaikan-kebaikan mereka terhadap sesama manusia. Sebab syukur dalam makna yang luas berarti memanfaatkan segala kebaikan Allah swt untuk mentaatiNya. Artinya berbagai perbuatan kebajikan adalah perwujudan terima kasih kita kepada Allah. Dalam kerangka berpikir ini kita menemukan pentingnya pendidikan bagi anak, sebab pendidikan lah yang akan membuat seorang manusia memiliki karakter atau akhlak mulia.

Untuk itu seorang Ibu dituntut melengkapi wawasan dan pengetahuannya untuk mendidik anak-anak. Diantara pengetahuan mendasar bagi anak-anak adalah:

§ Dalam sisi keagamaan: tilawah Quran (serta pemahamannya pada hal-hal mendasar) dan sejarah kehidupan Nabi Muhammad saw, keluarga dan para sahabatnya ra. Pengetahuan dasar keagamaan ini akan menjadi fondasi bagi kekokohan aqidah dan akhlak.

§ Dalam sisi pengetahuan dan keterampilan umum: komunikasi-berbahasa (termasuk sastra), logika-matematika, pengetahuan sejarah dan musik-bernyanyi.

2.2. Memiliki Keyakinan Kuat terhadap Janji Allah

Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa: "Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan jangan (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul. (QS. 28:7)

Dalam menghadapi berbagai tantangan jaman, seorang Ibu mesti senantiasa optimis, bahwa Allah akan menolong mereka mendidik anak-anaknya menjadi manusia berguna di masa depan. Sikap teguh Ibunda Nabi Musa sebagaimana digambarkan pada surat al-Qashash menjadi teladan utama dalam bersikap yakin akan bantuan Allah swt ini.

Ibu Musa ditakdirkan melahirkan anaknya dalam kondisi amat berat, yaitu ketika Firaun, penguasa yang amat zhalim saat itu, mengeluarkan perintah untuk membunuh anak laki-laki yang lahir dari kalangan Bani Israil, karena alasan ketakutan akan runtuhnya kerajaannya. Akan Allah swt memerikan keteguhan kepada Ibu Musa dan dengan dibantu oleh kakak perempuan Musa, Ibu Musa berhasil melalui masa-masa sulit tersebut untuk melindungi dan memelihara Musa.

Kisah di atas menjadi pelajaran berharga bagi para ibu muslimah. Saat ini tantangan yang dihadapi dalam mendidik anak-anak amat besar. Kita dihadapkan pada berbagai tantangan dalam mendidik anak-anak, mulai dari seleksi pendidikan yang berkualitas, tantangan finansial, tantangan lingkungan hingga tantangan pada diri kita sendiri. Untuk tantangan lingkungan, kita menyaksikan banyaknya “polusi” berita dan informasi tentang kekerasan atau tindakan a-susila baik dalam bentuk tulisan ataupun tayangan-tayangan audio visual.

Dalam kondisi ini peran para Ibu amatlah besar untuk menjaga anak-anak agar tumbuh pada fitrah kesuciannya. Modal paling besar bagi para Ibu adalah kedekatan dengan Allah swt, memahami pengarahan (taujih) dan pengajaran dari Allah swt melalui al-Quran dan sunnah NabiNya. Untuk itu para Ibu hendaknya senantiasa mengadakan pengkajian yang mendalam terhadap dua sumber utama ajaran Islam ini

Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah Nabimu). Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui. (QS. 33:34)

2.3. Penuh Suka Cita dalam Mendidik

Dan berkatalah istri Fir'aun: "(Ia) adalah penyejuk mata hati bagiku dan bagimu. Janganlah kamu membunuhnya, mudah-mudahan ia bermanfa'at kepada kita atau kita ambil ia menjadi anak", sedangkan mereka tiada menyadari. (QS. 28:9)

Sikap kasih sayang kepada anak-anak adalah fitrah yang Allah berikan kepada para Ibu untuk mendidik anak-anak mereka. Selama fitrah ini terjaga baik, seorang Ibu akan menjadikan perhatian pada anak sebagai perhatian terbesar dalam hidupnya. Kisah jatuh cintanya Asiyah istri Firaun kepada bayi Musa diabadikan al Quran untuk menggambarkan fitrah ini. Padahal Musa bukanlah anak kandungnya sendiri. Hendaknya sikap kasih sayang ini terus menyertai proses pendidikan anak.

Satu tantangan yang dihadapi para Ibu masa kini adalah tarikan untuk berkarir dan mencari penghasilan yang besar. Tarikan ini terjadi karena struktur sosial-ekonomi-masyarakat yang “memaksa” sebagian ibu-ibu untuk bekerja mencari nafkah. Padahal di dalam ajaran Islam, kewajiban mencari nafkah ini ada pada pundak para bapak. Motivasi lain adalah karena adanya kelemahan pola hubungan suami-istri. Sebagian istri merasa khawatir dirinya direndahkan oleh suami apabila tidak memiliki penghasilan sendiri. Tentu saja kondisi ini pun tidak seharusnya terjadi dalam keluarga muslim, sebab ajaran Islam telah memerintahkan para suami untuk bersikap kasih sayang dan adil dalam memimpin rumah tangga. Yang patut diwaspadai adalah ketika kaum perempuan justru sangat menikmati karirnya, sehingga meletakkan masalah pendidikan dan kasih sayang kepada anak pada prioritas ke sekian dibandingkan karirnya. Bahkan misalnya pada sebagian kalangan perempuan ada pandangan bahwa memiliki anak itu akan mengganggu karir mereka.

3. Profil Sahabat (Mitra)

3.1. Pencari Kebenaran

Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan yang memajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat 1462. (QS. 58:1)

1462: Sebab turunnya ayat ini adalah berhubungan dengan persoalan seorang wanita yang bernama Khaulah binti Tsa'labah yang telah didzihar oleh suaminya Aus bin Shamit, yaitu dengan mengatakan kepada isterinya: "Kamu bagiku sudah seperti punggung ibuku", dengan maksud dia tidak boleh lagi menggauli isterinya, sebagaimana ia tidak boleh menggauli ibunya. Menurut adat Jahiliyah kalimat seperti itu sudah sama dengan menthalak isteri. Maka Khaulah mengadukan hal itu kepada Rasulullah saw. Rasulullah saw menjawab bahwa dalam hal ini belum ada keputusan dari Allah. Dan pada riwayat yang lain, Rasulullah saw mengatakan: "Engkau telah diharamkan bersetubuh dengan dia". Lalu Khaulah berkata: "Suamiku belum menyebut kata-kata thalak". Kemudian Khaulah berulang-ulang mendesak Rasulullah saw agar menetapkan suatu keputusan dalam hal ini, sehingga kemudian turunlah ayat ini dan ayat-ayat berikutnya.

Seorang muslimah hendaklah terus bersemangat mencari dan menegakkan kebenaran sebagaimana ditunjukkan pada contoh sahabiyah Khaulah binti Tsalabah ini. Dengan demikian ia akan menjadi partner diskusi yang handal bagi suaminya.

3.2. Memiliki Kriteria Tepat tentang Pendamping Hidup

Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya". (QS. 28:26)

Menilik ayat di atas, sepertinya karakter ini berlaku bagi mereka yang belum menikah. Ayat di atas mengungkapkan kalimat putri seorang yang sholih di negeri Madyan, negeri tempat Musa muda melarikan diri dari kejaran Firaun. Sebagian penafsir mengatakan orang sholih ini adalah Nabi Syu’aib as. Begitulah gambaran seorang gadis yang cerdas dan sholihah menginterpretasikan sifat baik seorang pemuda. Ia tempatkan gejolak curahan hatinya mencari pasangan hidup, sekaligus melindungi posisinya dari kemestiannya bekerja dengan saudara perempuannya, karena sang ayah telah lanjut usia. Sang ayah pun memahami rahasia yang disembunyikan anak gadisnya. Setelah berbincang dengan Musa, ia menawari Musa untuk bekerja di tempatnya, dan ia berjanji akan menikahkan Musa dengan putrinya (kisah ini ada pada rangkaian ayat di atas, sebelum dan sesudahnya)

Akan tetapi bagi para muslimah yang telah menikah pun kisah di atas mengungkap pelajaran berharga. Perhatikanlah, perempuan sholihah meletakkan parameter lahir dan batin secara seimbang dalam berinteraksi dengan pasangan hidupnya. Maka semestinya apresiasi seorang istri kepada pasangannya pun selalu seimbang diantara sisi fisik dan psikis. Dalam kehidupan berumah tangga ini dapat diterjemahkan dalam bentuk perhatian pada pola makanan, pola istirahat, olah raga dan juga pada pola pendidikan serta pola ibadah ritual yang senantiasa mewarnai kehidupan suami-istri. Semakin panjang usia pernikahan, semakin terasa kebutuhan untuk saling mengingatkan dalam menjaga kondisi prima fisik dan psikis.

3.3. Kesetaraan di Hadapan Allah

Dikatakan kepadanya: "Masuklah ke dalam istana". Maka tatkala dia melihat lantai istana itu, dikiranya kolam air yang besar, dan disingkapkannya kedua betisnya. Berkatalah Sulaiman: "Sesungguhnya ia adalah istana licin terbuat dari kaca". Berkatalah Balqis: "Ya Rabbku, sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap diriku dan aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Rabb semesta alam". (QS. 27:44)

Ketika Ratu Balqis telah menyaksikan kerajaan besar yang Allah karuniakan kepada Nabi Sulaiman as dan mengetahui siapakah yang benar-benar harus disembah di muka bumi ini, sadarlah ia bahwa ternyata perbuatannya dan kaumnya (di antaranya menyembah matahari) adalah perbuatan yang zhalim. Akan tetapi perhatikanlah, Ratu Bilqis tidak pernah menyatakan ketundukan kepada Sulaiman. Yang ia ucapkan adalah bahwa ia bersama Sulaiman tunduk patuh, berserah diri kepada Allah swt.

Dari ayat ini kita mendapatkan taujih Rabbani (pengarahan Ilahi), bahwa kedudukan kaum perempuan dan kaum lelaki di hadapan Allah swt itu sama, yaitu sebagai hamba. Islam telah memuliakan kedudukan kaum perempuan. Untuk itu kaum muslimah hendaknya senantiasa menjaga kemuliaan ini dan bahu-membahu bersama para suami mereka dalam menegakkan kebenaran.

3.4. Berkontribusi Aktif dalam Kerja Sosial dan Da’wah

Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mu'min 1219, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam keta'atannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu', laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar. (QS. 33:35)

1219: Yang dimaksud dengan "orang muslim" di sini ialah orang-orang yang mengikuti perintah dan larangan pada lahirnya, sedang yang dimaksud "orang yang mu'min" di sini ialah orang yang membenarkan apa yang harus dibenarkan dengan hatinya.

Maka Rabb mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain 259. (QS. 3:195)

Sebab turunnya dua ayat di atas terkait langsung dengan kehidupan para muslimah di masa kehidupan Nabi Muhammad saw. Ayat pada surat al Ahzab turun karena adanya ucapan Ummu ‘Imarah al-Anshari kepada Rasulullah saw,”Kami menyaksikan segala sesuatu (terkait ajaran Islam) hanya bagi lelaki dan kami tidak melihat kaum perempuan disebut-sebut.” (diriwayatkan at-Tirmidzi melalui Ikrimah). Atau melalui Ibnu ‘Abbas diriwayatkan bahwa para muslimah berkata kepada Nabi saw,”Ya Rasulullah, mengapa hanya disebutkan kaum beriman lelaki dan tidak disebutkan kaum beriman perempuan?” (diriwayatkan ath-Thabrani). Sedangkan pada riwayat lain dikabarkan bahwa para muslimah menanyakan mengapa hanya para istri Nabi yang disebutkan. Mereka berkata,”Kalaulah pada kami ada kebaikan, tentu kami disebutkan.” Maka Allah swt menurunkan ayat di atas. (diriwayatkan Ibnu Sa’ad dari Qatadah)

Adapun untuk ayat pada akhir surat Ali ‘Imran, diriwayatkan bahwa Ummu Salamah berkata,”Ya Rasulullah, aku tidak mendengar Allah menyebutkan kaum perempuan dalam peristiwa Hijrah sedikitpun.” Maka Allah swt menurunkan ayat tersebut. (diriwayatkan oleh Abdur Razaq, Said bin Manshur, at-Tirmidzi, al-Hakim, dan Ibnu Abi Hatim).

Setelah kita ketahui konteks sosial sebab turunnya, ayat-ayat di atas semakin meneguhkan adanya peran sosial dan da’wah yang penting dari kaum perempuan sejak masa pertama turunnya ajaran Islam. Ini berlaku bagi semua perempuan. Mereka tidak kalah dengan kaum lelaki dalam melakukan seluruh aktifitas kehidupan, mulai yang sifatnya ibadah ritual hingga aktifitas sosial dalam rangka memperbaiki kondisi masyarakat.

WaLlaahu a'lamu bish shawwab.

Beberapa Buku Bacaan

Aisyah Abdurahman, Istri-istri Nabi saw., Pustaka Mantiq, 1988

Abu Mohd Rosyid Ridho, Wanita Sholihah: Ciri-ciri dan Fungsinya, Hikmah, Medan, 1985

Ibnu Ahmad Dahri, Peran Ganda Wanita Modern, Pustaka al-Kautsar, 1991

Ibnul Qayyim, Taman Orang-orang yang Jatuh Cinta dan Memendam Rindu.

Ibrahim bin Shalih al-Mahmud, Kiat Hidup Bahagia dengan Suami Anda, Firdaus, 1992

Khairiyah Husain Thaha, Konsep Ibu Teladan: Kajian Pendidikan Islam, Risalah Gusti, 1992

Muhammad Qutb, Figur Wanita Sorga dan Neraka, Penerbit Amarpress, 1987

As-Suyuthi, Asbabun Nuzul.

** Sebetulnya istri sholihah dalam profil ibu memiliki dimensi lain daripada apa yang disampaikan makalah ini, yaitu secara kejiwaan seorang istri memberikan ketentraman bagi suami, laksana seorang ibu kepada anaknya. Ada pembahasan menarik dari Prof. Dr. Aisyah Abdurrahman tentang suasana kejiwaan Muhammad bin Abdullah saw di masa anak-anak dan remajanya yang telah ditinggal wafat ibunya pada usia 6 tahun. Suasana kejiwaannya merindukan seseorang yang bisa memberikan ketentraman bagai seorang ibu baginya. Allah swt Maha Pengasih, dengan takdir-Nya yang penuh hikmah, Muhammad pun dipertemukan dengan Khadijah. Pernikahannya dengan Khadijah, seorang perempuan yang matang jiwanya serta penuh kelembutan, seolah merupakan jawaban bagi Muhammad yang telah ditinggalkan ibunya sejak masa anak-anak. Ya ... dari Khadijah ini, Muhammad mendapatkan sentuhan lembut laksana seorang ibu, yang terus memberikan kasih sayang dan dukungan. Bahkan dukungan Khadijah ini semakin besar dan berarti ketika Muhammad telah diangkat menjadi Rasul Allah.

Meniti Keluarga Sakinah Dengan Akhlak Terpuji

Menjadi keluarga sakinah, adalah hal yang diidamkan setiap pasangan yang hendak membangun rumah tangga. Sesuatu yang tidak mudah, namun tak mustahil untuk diwujudkan. Apa kuncinya?

Bahtera rumah tangga membutuhkan nakhoda yang mengerti tujuan dan arah berlayar, diikuti para awak yang memiliki kesabaran yang tangguh dan teruji, yang siap diatur oleh sang nakhoda. Sebagaimana bahtera yang mengarungi samudra yang luas akan menghadapi arus dan gelombang yang menggunung, begitu pula bahtera berumah tangga. Akan banyak ujian dan cobaan di dalamnya. Banyak kerikil-kerikil tajam dan duri-duri yang menusuk peraduan.

Dahsyatnya ujian tersebut menyebabkan banyak bahtera rumah tangga yang kandas dan tidak bisa berlabuh lagi, bahkan hancur berkeping-keping. Sang istri ditelantarkan dengan tidak dididik, bahkan tidak diberikan nafkah. Sehingga muncul awak-awak bahtera yang tidak taat kepada nakhoda. Awak yang tidak mengerti tugas dan kewajibannya, berjalan sendiri dan mencari kesenangan masing-masing. Inilah pertanda kecelakaan dan kehancuran. Sang anak dibiarkan seakan-akan tidak memiliki ayah, sebagai seorang pemandu dan pembela yang akan mengarahkan dan melindungi. Seakan-akan tidak memiliki ibu, yang akan memberikan luapan kasih sayang dan perhatian yang dalam. Masing-masing berjalan pada keinginan dan kehendaknya, tidak merasa adanya keterikatan dengan yang lain. Sang nakhoda berjalan di atas dunianya, sang istri dan sang anak di atas dunia yang lain. Saling tuduh dan saling vonis serta saling mencurigai akan terus berkecamuk, berujung dengan perpisahan. Akankah gambaran keluarga tersebut mendapatkan ketenangan, ketentraman, dan kebahagiaan? Bahkan itulah pertanda malapetaka yang besar dan dahsyat.

Suratan Taqdir

Memang problem dalam berumah tangga adalah sebuah suratan taqdir yang mesti ada dan terjadi. Akan tetapi Allah Subhanahu wa ta’ala telah menurunkan syariat-Nya untuk membimbing ke jalan yang diridhai dan dicintai-Nya. Jalan yang akan mengakhiri problem tersebut. Sebuah suratan yang tidak akan berubah dan tidak akan dipengaruhi oleh keadaan apapun. Mungkin kita akan menyangka, suratan taqdir tersebut tidak akan menimpa orang-orang yang taat beribadah dan orang-orang mulia di sisi Allah Subhanahu wa ta’ala. Tentu tidak demikian keadaannya. Nabi Nuh ‘alaihissalam berseberangan dengan istri dan anaknya. Nabi Luth ‘alaihissalam dengan istrinya yang jelas-jelas mendukung perbuatan keji dan kotor: laki-laki “mendatangi” laki-laki. Hal ini telah diceritakan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala di dalam firman-Nya:

ضَرَبَ اللهُ مَثَلاً لِلَّذِينَ كَفَرُوا اِمْرَأَةَ نُوحٍ وَامْرَأَةَ لُوطٍ كَانَتَا تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا صَالِحَيْنِ فَخَانَتَاهُمَا فَلَمْ يُغْنِيَا عَنْهُمَا مِنَ اللهِ شَيْئًا وَقِيلَ ادْخُلاَ النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِينَ

“Allah membuat istri Nuh dan istri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang shalih di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada suaminya (masing-masing), maka suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya): ‘Masuklah ke dalam Jahannam bersama orang-orang yang masuk (Jahannam)’.” (At-Tahrim: 10)

Ujian dalam berumah tangga tentu akan lebih besar dibanding ujian yang menimpa individu. Hal ini telah dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya ketika menjelaskan tujuan ilmu sihir dipelajari dan diajarkan:

فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ

“Maka mereka mempelajari dari keduanya, apa yang dengan sihir itu, mereka dapat mencerai-beraikan antara seorang (suami) dengan istrinya.” (Al-Baqarah: 102)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ إِبْلِيسَ يَضَعُ عَرْشَهُ عَلَى الْمَاءِ ثُمَّ يَبْعَثُ سَرَايَاهُ فَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَنْزِلَةً أَعْظَمُهُمْ فِتْنَةً، يَجِيءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُولُ: فَعَلْتُ كَذَا وَكَذَا. فَيَقُولُ: مَا صَنَعْتَ شَيْئًا. قَالَ: ثُمَّ يَجِيءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُولُ: مَا تَرَكْتُهُ حَتَّى فَرَّقْتُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ. قَالَ: فَيُدْنِيهِ مِنْهُ وَيَقُولُ: نِعْمَ أَنْتَ. قَالَ اْلأَعْمَشُ: أُرَاهُ قَالَ: فَيَلْتَزِمُهُ

“Sesungguhnya Iblis meletakkan singgasananya di atas air, kemudian dia mengutus bala tentaranya. Yang paling dekat kedudukannya dengan Iblis adalah yang paling besar fitnahnya. Datang kepadanya seorang tentaranya lalu berkata: ‘Aku telah berbuat demikian-demikian.’ Iblis berkata: ‘Engkau belum berbuat sesuatu.’ Dan kemudian salah seorang dari mereka datang lalu berkata: ‘Aku tidak meninggalkan orang tersebut bersama istrinya melainkan aku pecah belah keduanya.’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: ‘Lalu iblis mendekatkan prajurit itu kepadanya dan berkata: ‘Sebaik-baik pasukan adalah kamu.’ Al-A’masy berkata: ‘Aku kira, (Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) berkata: ‘Lalu iblis memeluknya.” (HR. Muslim no. 5302)

Bila iblis telah berhasil menghancurkannya, kemana sang anak mencari kasih sayang? Hidup akan terkatung-katung. Yang satu ingin mengayominya, yang lain tidak merestuinya. Alangkah malang nasibmu, engkau adalah bagian dari korban Iblis dan bala tentaranya.

Kalau demikian keras rencana busuk Iblis terhadap keluarga orang-orang yang beriman, kita semestinya berusaha mencari jalan keluar dari jeratan dan jaring yang dipasang oleh Iblis, yaitu dengan belajar ilmu agama.

Bahkan keluarga terbaik, mulia dan dibangun oleh seorang terbaik, imam para nabi dan rasul, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama Ummahatul Mukminin, juga tak lepas dari duri-duri dalam berumah tangga. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah marah kepada istri beliau ‘Aisyah dan Hafshah, sampai beliau memberikan takhyir (pilihan) kepada keduanya dan kepada istri-istri beliau yang lain: apakah tetap bersama beliau ataukah memilih dunia. Kemudian seluruh istri beliau lebih memilih bersama beliau. (lihat secara detail kisahnya dalam riwayat Al-Imam Al-Bukhari no. 4913, 5191 dan Muslim no. 1479)

Cerita menantu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu bersama putri beliau Fathimah radhiyallahu ‘anha –dan kita mengetahui kedudukan beliau berdua di dalam agama ini– juga tidak terlepas dari kerikil-kerikil berumah tangga.

Telah diceritakan oleh Sahl bin Sa’d As-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Nama yang paling disukai oleh ‘Ali adalah Abu Turab. Dia senang sekali dengan nama yang diberikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu. Suatu hari, ‘Ali marah kepada Fathimah, lalu dia keluar dari rumah menuju masjid dan berbaring di dalamnya. Bertepatan dengan kejadian tersebut Rasulullah datang ke rumah putrinya, Fathimah, namun beliau tidak mendapatkan ‘Ali di rumah. “Mana anak pamanmu itu?”, tanya beliau. “Telah terjadi sesuatu antara aku dan dia, dan dia marah padaku lalu keluar dari rumah. Dia tidak tidur siang di sisiku,” jawab Fathimah. Rasulullah berkata kepada seseorang: “Lihatlah di mana Ali.” Orang yang disuruh tersebut datang dan mengabarkan: “Wahai Rasulullah, dia ada di masjid sedang tidur.” Rasulullah mendatanginya, yang ketika itu ‘Ali sedang berbaring dan beliau dapatkan rida`-nya (kain pakaian bagian atas) telah jatuh dari punggungnya. Mulailah beliau mengusap pasir dari punggungnya seraya berkata: “Duduklah wahai Abu Turab. Duduklah wahai Abu Turab.” (HR. Al-Bukhari no. 3703 dan Muslim no. 2409)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Teladan dalam Berumah Tangga

Meniti jejak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kehidupan berumah tangga adalah sebuah kewajiban bagi setiap muslim yang menginginkan kebahagiaan dalam berumah tangga. Hal ini masuk dalam keumuman firman Allah Subhanahu wa ta’ala di dalam Al-Qur`an:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللهَ وَالْيَوْمَ اْلآخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيرًا

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Al-Ahzab: 21)

Allah Subhanahu wa ta’ala telah bersumpah tentang keagungan akhlak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam firman-Nya:

وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيْمٍ

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (Al-Qalam: 4)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ اْلأَخْلَاقِ. -وَفِي رِوَايَةٍ- إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ اْلأَخْلَاقِ

“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan budi pekerti yang mulia.” –Dan di dalam sebuah riwayat-: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan kebagusan akhlak.” (HR. Al-Imam Ahmad di dalam Musnad (2/318) dan Al-Imam Al-Bukhari di dalam Al-Adab no. 273 dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

كَانَ رَسُولُ اللهِ أَحْسَنَ النَّاسِ خُلُقًا

“Rasulullah adalah orang yang paling bagus akhlaknya.” (HR. Al-Bukhari no. 6203 dan Muslim no. 659 dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu)

Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu berkata kepada saudaranya tatkala datang berita diutusnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Pergilah engkau ke lembah itu dan dengar apa ucapannya.” Kemudian dia kembali lalu menyampaikan:

رَأَيْتُهُ يَأْمُرُ بِمَكَارِمَ اْلأَخْلَاقِ

“Aku melihat dia memerintahkan kepada budi pekerti yang baik.” (HR. Al-Bukhari no. 3861 dan Muslim no. 2474)

Seseorang tidak akan menemukan kekecewaan bila dia menjadikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai suri teladan dalam semua tatanaan kehidupannya. Baik ketika dia seorang diri, berumah tangga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dia akan berbahagia di saat banyak orang dirundung kesedihan. Dia akan tentram di saat orang-orang dirundung kegelisahan. Dia akan terbimbing di saat semua orang tersesat jalannya. Dia akan tabah dan sabar di saat orang lain gundah gulana.

وَإِنْ تُطِيْعُوْهُ تَهْتَدُوا

“Dan jika menaatinya niscaya kalian akan mendapatkan petunjuk.” (An-Nur: 54)

Hisyam bin ‘Amir berkata kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha: “Wahai Ummul Mukminin, beritahukan kepadaku tentang akhlak Rasulullah?” Beliau menjawab: “Tidakkah kamu membaca Al-Qur`an?” Hisyam bin Amir berkata: “Iya.” ‘Aisyah berkata:

كَانَ خُلُقُ نَبِيِّ اللهِ الْقُرْآنُ

“Akhlak Nabiyullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Al-Qur`an.” (HR. Muslim no. 746)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Keluarga Beliau

Sungguh amat sangat menarik bila dikaji kehidupan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama istri-istri beliau. Sebuah kehidupan indah, yang mestinya ditulis dengan tinta emas, dan telah diabadikan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala hingga hari kiamat. Sehingga setiap umat beliau yang kembali ke jalan As-Sunnah akan mengetahui hal itu. “Indahnya hidup bersama Sunnah Rasulullah”, itulah ucapan yang akan keluar dari orang yang telah mencium aroma As-Sunnah walaupun sedikit. Mari kita menelaah beberapa riwayat tentang indahnya hidup Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama keluarga beliau, yang semuanya itu merupakan buah dari akhlak yang mulia dan agung.

Telah disebutkan di dalam kitab-kitab As-Sunnah seperti kitab Shahih Al-Imam Al-Bukhari, Shahih Al-Imam Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan At-Tirmidzi, Ibnu Majah, An-Nasa`i dan selain mereka. Lihat nukilan beberapa riwayat dalam kitab Ash-Shahihul Musnad Min Syama`il Muhammadiyyah. (1/384-420, karya Ummu Abdullah Al-Wadi’iyyah)

1. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kelembutan beliau bersama istri-istrinya.

Beliau tidur satu selimut, beliau mandi berduaan dan mencium istrinya sekalipun dalam keadaan berpuasa, serta bercumbu rayu sekalipun dalam keadaan haid, sebagaimana hadits dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha dalam riwayat Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim.

Diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim (no. 1807) dari Hafshah radhiyallahu ‘anha dan datang pula dari hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari (no. 1928) dan Muslim (no. 1851):

كَانَ رَسُولُ اللهِ يُقَبِّلُ وَهُوَ صَائِمٌ

“Rasulullah mencium (istrinya) dalam keadaan beliau berpuasa.”

Bahkan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha (HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 322 dan Muslim 444) bercerita kepada Zainab putrinya, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menciumnya dalam keadaan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa, dan beliau radhiyallahu ‘anha pernah mandi bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari sebuah bejana dalam keadaan junub.

2. Rasulullah menyenangkan istrinya dengan sesuatu yang bukan merupakan maksiat kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.

Sebagaimana riwayat dari Aisyah radhiyallahu ‘anha: “Aku melihat Rasulullah menutupi aku dengan selendangnya, dan aku melihat kepada anak-anak Habasyah yang sedang bermain di masjid hingga akulah yang bosan.” (HR. Al-Bukhari)

3. Berbincang-bincang bila memiliki kesempatan.

Sebagaimana dalam riwayat dari sahabat ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha: “Rasulullah shalat dalam keadaan duduk dan membaca dalam keadaan duduk. Dan bila masih tersisa dalam bacaannya sekitar 30 atau 40 ayat, beliau berdiri dan membacanya dalam keadaan berdiri. Kemudian beliau ruku’ dan sujud. Dan beliau lakukan hal itu pada rakaat kedua bila beliau menunaikan shalatnya. Jika aku bangun, beliau berbincang-bincang denganku dan bila aku tidur beliau juga tidur.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

4. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berlomba lari dengan istrinya.

Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha:

أَنَّهَا كَانَتْ مَعَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فِي سَفَرٍ قَالَتْ: فَسَابَقْتُهُ فَسَبَقْتُهُ عَلَى رِجْلَيَّ، فَلَمَّا حَمِلَتِ اللَّحْمُ فَسَابَقْتُهُ فَسَبَقَنِي، قَالَ: هَذِهِ بِتِلْكَ السَّبْقَةِ

“Tatkala dia bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah perjalanan, dia berkata: ‘Aku berlomba lari dengan beliau dan aku memenangkannya.’ Tatkala aku gemuk, aku berlomba (lagi) dengan beliau dan beliau memenangkannya. Beliau berkata: “Kemenangan ini sebagai balasan atas kemenanganmu yang lalu.” (HR. Abu Dawud, 7/423 dan Ahmad, 6/39)

5. Khidmat (pelayanan) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam rumah tangga

Diriwayatkan dari Aswad, dia berkata: Aku bertanya kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha: “Apa yang diperbuat oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam rumahnya?” Dia berkata: “Beliau selalu membantu keluarganya, dan bila datang panggilan shalat beliau keluar menuju shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 676, 5363 dan Ahmad, 6/49)

6. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersenda gurau dengan istrinya, dengan menyebutkan satu sifat yang ada pada diri sang istri, sebagaimana riwayat dari Aisyah radhiyallahu ‘anha. (HR. Al-Bukhari no. 5228 dan Muslim no. 4469)

7. Rasulullah menyenangkan istrinya dengan cara minum dari bekas mulut istrinya dan makan dari bekas tempat makan istrinya, sebagaimana riwayat dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. (HR. Muslim no. 300)

8. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam cemburu melebihi kecemburuan para sahabat beliau.

قَالَ سَعْدُ بْنِ عُبَادَةَ: لَوْ رَأَيْتُ رَجُلاً مَعَ امْرَأَتِي لَضَرَبْتُهُ بِالسَّيْفِ غَيْرَ مُصْفَحٍ. فَبَلَغَ ذَلِكَ النَّبِيَّ صلى الله عيه وسلم فَقَالَ: أَتَعْجَبُونَ مِنْ غِيْرَةِ سَعْدٍ؟ لَأَنَا أَغْيَرُ مِنْهُ وَاللهُ أَغْيَرُ مِنِّي

Sa’d bin ‘Ubadah berkata: “Jika aku menjumpai seseorang bersama istriku niscaya aku akan memenggalnya dengan pedang pada sisi yang tajam.” Sampailah ucapan itu kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu beliau bersabda: “Apakah kalian heran dengan kecemburuan Sa’d ? Sungguh, aku lebih cemburu darinya, dan Allah lebih cemburu dariku.” (HR. Al-Bukhari no. 6846 dan Muslim no. 2754)

Beberapa contoh yang telah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas adalah sebagai aplikasi dari wujud taqarrub kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, bukan semata-mata kebahagiaan dunia. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu berkata: “Apabila seseorang mempergauli istrinya dengan cara yang baik, janganlah semata-mata hanya untuk mendapatkan kebahagiaan dunia semata. Bahkan hendaknya dia berniat untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dengan melaksanakan apa yang diwajibkan atasnya. Masalah ini terlalaikan dari banyak orang. Dia berniat hanya melanggengkan pergaulannya semata dan dia tidak berniat untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Maka hendaklah setiap orang mengetahui bahwa dia sedang melaksanakan perintah Allah Subhanahu wa ta’ala: ‘Dan pergaulilah mereka dengan cara yang baik’.” (Asy-Syarhul Mumti’, 5/357)

Beberapa Akhlak Menuju Keluarga Sakinah

Setiap orang muslim meyakini tentang kedudukan akhlak dalam kehidupan individu, berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara. Di sini, ada beberapa akhlak dan adab yang harus ada pada suami-istri, yakni berupa hak di antara keduanya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala:

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ

“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya.” (Al-Baqarah: 228 )

1. Keduanya memiliki sifat amanah.

Jangan sekali-kali salah satu dari keduanya mengkhianati yang lain, karena mereka berdua tak ubahnya dua orang yang sedang berserikat, sehingga dibutuhkan amanah, menerima nasihat, jujur dan ikhlas di antara keduanya dalam segala kondisi.

2. Memiliki kasih sayang di antara keduanya.

Sang istri menyayangi suami dan begitu juga sebaliknya, sang suami menyayangi istrinya. Ini merupakan perwujudan firman Allah Subhanahu wa ta’ala:

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.” (Ar-Rum: 21)

3. Menumbuhkan rasa saling percaya antara kedua belah pihak. Jangan sekali-kali terkotori dengan keraguan terhadap kejujuran, amanah, dan keikhlasannya.

4. Lemah lembut, wajah yang selalu ceria, ucapan yang baik dan penuh penghargaan. Hal ini masuk dalam keumuman firman Allah Subhanahu wa ta’ala:

وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ

“Bergaullah dengan mereka secara patut.” (An-Nisa`: 19)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا

“Inginkan dan lakukan kebaikan untuk kaum wanita.” (Lihat Minhajul Muslim, 1/102). Wallahu a’lam